Penutupan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Piyungan pada 1 Mei 2024 mendorong masyarakat di berbagai wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) untuk mencari solusi alternatif pengelolaan sampah. Menjawab tantangan ini, tim dosen Universitas ‘Aisyiyah (Unisa) Yogyakarta berkolaborasi dengan Pimpinan Ranting `Aisyiyah (PRA) Banguntapan 1 menggelar kegiatan pengabdian masyarakat bertajuk “Implementasi Biopori sebagai Solusi Pengelolaan Air Tanah dan Sampah Organik Rumah Tangga”.
Kegiatan yang berlangsung pada 26 Juli 2025 ini diikuti oleh 25 peserta, mayoritas adalah ibu rumah tangga. Sesi dimulai dengan sosialisasi interaktif yang membahas konsep biopori serta pentingnya konservasi air dan pengelolaan sampah organik di tingkat rumah tangga. Materi disampaikan langsung oleh narasumber dari dosen Program Studi Bioteknologi Unisa Yogyakarta, memberikan pemahaman mendalam secara ilmiah dan praktis.
Selain teori, para peserta juga mendapatkan pelatihan langsung pembuatan lubang biopori. Mereka diajarkan mulai dari teknik pengeboran tanah, pemasangan pipa PVC, hingga cara mengisi lubang dengan sampah organik untuk dijadikan kompos. Sebanyak 10 unit biopori berhasil dipasang di lingkungan rumah warga.
“Teknologi biopori tidak hanya membantu meresapkan air hujan ke dalam tanah, tetapi juga menjadi solusi sederhana dalam mengelola sampah organik menjadi kompos,” ujar Dinar Mindrati Fardhani, M.Biotech., Ph.D, ketua tim pengabdian.
Dampak positif dari kegiatan ini terlihat jelas dari hasil evaluasi. Pemahaman peserta mengenai fungsi biopori melonjak dari 24 persen menjadi 88 persen, sementara minat untuk menerapkannya di rumah naik dari 32 persen menjadi 76 persen. Bahkan, 92 persen peserta menilai pelatihan ini sangat relevan dan bermanfaat bagi kondisi lingkungan mereka. Ketua PRA Banguntapan 1, Siti Maesaroh, menyambut baik inisiatif ini.
“Warga kami sekarang tidak hanya tahu, tetapi juga sudah bisa praktik langsung membuat lubang biopori. Harapan kami, ini menjadi awal dari perubahan perilaku dalam mengelola sampah di rumah,” katanya.
Kedepan, tim pengabdian Unisa berencana mengadakan pelatihan lanjutan tentang pemanfaatan kompos, pemilahan sampah anorganik, dan pengembangan titik-titik biopori strategis. Program ini diharapkan menjadi model pengelolaan sampah dan konservasi air mandiri yang berkelanjutan, sejalan dengan upaya pemerintah daerah dalam mengatasi krisis sampah di DIY.
Beras oplosan marak beredar di tengah masyarakat Indonesia belakangan ini. Tidak hanya persoalan kecurangan dalam perdagangan, beras oplosan jika dikonsumsi masyarakat berdampak mulai dari persoalan penurunan nilai gizi hingga masalah kesehatan.
“Selain bahaya kesehatan langsung akibat bahan kimia, konsumsi beras yang dicampur dan dimanipulasi juga memiliki dampak gizi yang perlu diperhatikan,” ungkap Dosen Gizi Universitas ‘Aisyiyah (Unisa) Yogyakarta, Faurina Risca Fauzia, Senin (4/8/2025).
Faurina mengatakan pencampuran beras premium dengan beras berkualitas rendah dapat secara signifikan menurunkan nilai gizi nasi yang dikonsumsi, misalnya mengurangi kandungan vitamin B1 yang penting. “Meskipun dampak ini mungkin tidak menyebabkan efek fatal secara langsung, konsumsi rutin dalam jangka panjang dapat menyebabkan defisit gizi kumulatif yang merugikan kesehatan masyarakat,” kata Faurina.
Lebih jauh, konsumsi produk pangan berkualitas rendah atau yang telah dimanipulasi secara keseluruhan dapat meningkatkan risiko masalah kesehatan kronis. Studi menunjukkan bahwa adulterasi pangan/ tindakan pencampuran dapat berkontribusi pada peningkatan gula darah konsumen, yang berpotensi menyebabkan diabetes, penambahan berat badan di area perut, obesitas, dan peningkatan kadar lipid darah yang dapat memicu tekanan darah tinggi. Praktik adulterasi/ oplosan pada dasarnya mengubah sifat alami makanan, sehingga memperburuk risiko kesehatan yang mungkin sudah ada dari konsumsi makanan berkualitas rendah atau junk food.
Faurina menyebut berbagai studi ilmiah mengkonfirmasi pemahaman tentang bahaya kontaminasi dalam beras, baik yang disengaja maupun alami. Paparan berkepanjangan terhadap zat-zat berbahaya dalam beras oplosan dapat menyebabkan akumulasi senyawa kimia dalam tubuh. “Akumulasi ini akan memperberat kerja sistem detoksifikasi organ vital seperti hati dan ginjal, yang pada akhirnya dapat menyebabkan kerusakan permanen pada organ-organ tersebut,” ujarnya.
Faurina menjelaskan salah satu kontaminan alami yang paling signifikan dalam beras adalah arsenik. Beras (Oryza sativa L.) memiliki kemampuan luar biasa untuk mengakumulasi arsenik, dengan konsentrasi yang bisa mencapai sepuluh kali lebih tinggi dibandingkan sereal lain seperti gandum. Hal ini diperparah oleh cara penanaman padi yang umumnya terendam air, yang mendukung kelarutan arsenik dalam tanah dan penyerapan ke dalam tanaman. Arsenik anorganik, bentuk yang lebih toksik, dapat masuk ke dalam beras melalui transporter silikon yang secara tidak sengaja mengangkut arsenit. Akibatnya, beras menjadi sumber utama paparan arsenik diet, terutama bagi populasi yang mengonsumsi beras dalam jumlah tinggi.
“Paparan arsenik, bahkan pada kadar rendah, dapat menyebabkan mual, muntah, diare, detak jantung tidak teratur, dan kerusakan pembuluh darah. Pada kadar yang tinggi dan paparan jangka panjang, zat ini dapat meningkatkan risiko keracunan arsenik, diabetes tipe 2, hipertensi, gangguan kulit, kerusakan saraf, penyakit jantung, serta berbagai jenis kanker seperti kanker kulit, paru-paru, dan kandung kemih,” ujar Faurina.
Cara mengenali beras oplosan
Faurina mengatakan masyarakat bisa mendeteksi apakah beras yang ada termasuk beras oplosan atau bukan. Pertama, konsumen bisa mulai dengan memahami tanda visual, bau, tekstur, dan rasa. Dari ciri visualnya, bisa diketahui dari warna yang tidak seragam atau terlalu mencolok.
“Beras oplosan sering menunjukkan warna yang tidak merata, di mana butiran putih cerah bercampur dengan yang kusam atau kekuningan. Beberapa beras oplosan juga tampak terlalu putih mengkilap, menyerupai plastik. Beras asli umumnya memiliki warna putih alami, tidak terlalu mengkilap,” jelas Faurina.
Hal kedua yang bisa dilihat secara visual yaitu ukuran butiran bervariasi. Butiran beras oplosan seringkali tidak seragam, mencampur bulir panjang-pendek atau besar-kecil dalam satu kemasan. Beras asli cenderung memiliki ukuran yang seragam dan bentuk gemuk dengan guratan alami pada permukaannya. Beras palsu atau sintetis, di sisi lain, tampak lebih ramping, mulus tanpa guratan, dan bening.
“Kemudian, adanya benda asing saat dicuci. Jika saat mencuci beras muncul serpihan plastik, serbuk putih, atau partikel lain yang tidak biasa, hal ini patut dicurigai sebagai indikasi beras oplosan atau palsu,” ungkap Faurina.
Selain dari tanda visual, untuk mengenali beras oplosan juga bisa dari bau atau aroma. Pertama yang harus dicurigai ketika menemukan aroma mencurigakan. “Beras oplosan mungkin mengeluarkan bau apek, bau kimiawi, bau sangit seperti plastik terbakar, atau bahkan tidak berbau sama sekali. Beras asli umumnya memiliki aroma khas yang netral, sedikit harum, atau wangi pandan yang lembut,” ucap Faurina.
Mengenali beras oplosan atau asli juga bisa dilihat dari segi teksturnya saat masih mentah. Pertama terlalu halus dan licin, beras oplosan sering terasa terlalu halus, licin, dan mengkilap seperti plastik saat disentuh. Beras asli memiliki permukaan yang cenderung kasar. Kedua, keras atau tidak mudah patah. Jika butiran beras oplosan ditekan dengan kuku, cenderung terasa keras dan tidak mudah patah. Beras berkualitas baik tidak mudah remuk saat diremas.
“Menempel di tangan. Jika beras cenderung menempel pada telapak tangan saat diremas dalam keadaan kering, ini bisa menjadi indikasi bahwa beras tersebut telah dicampur dengan pelicin bahan kimia,” tutur Faurina.
Beras asli dan oplosan juga bisa dikenali setelah dimasak. Nasi yang dihasilkan dari beras oplosan bisa terasa aneh, terlalu lembek, cepat basi, atau cepat mengeras dan sulit dicerna setelah dingin (Nasi Tidak Wajar). Beras sintetis juga dapat mengeluarkan air saat dimasak, bukan menyerapnya seperti beras normal. Nasi normal, dari beras asli akan menghasilkan nasi yang lembut, pulen, manis, dan mudah dikunyah.
“Untuk mengenali beras oplosan atau bukan, bisa juga dengan melakukan tes tambahan. Pertama tes air, beras oplosan atau palsu cenderung mengapung saat direndam dalam air, sedangkan beras asli akan tenggelam karena berat jenisnya lebih tinggi. Air rendaman beras asli akan berubah menjadi keruh keputihan, sementara air rendaman beras palsu akan tetap jernih. Kedua tes bakar, beras palsu yang terbuat dari plastik akan meleleh atau mengeluarkan bau plastik terbakar saat dibakar,” ujar Faurina.
Universitas ‘Aisyiyah (Unisa) Yogyakarta bekerja sama dengan Lembaga Lingkungan Hidup dan Penanggulangan Bencana (LLHPB) Pimpinan Cabang Aisyiyah (PCA) Gamping melaksanakan program pengabdian masyarakat bertajuk PESONA (Pengelolaan Sampah Organik Mandiri) yang berlangsung sejak Februari hingga Juli 2025. Program ini hadir sebagai upaya konkret dalam meningkatkan produktivitas masyarakat dan menjaga kesehatan lingkungan melalui pengelolaan sampah organik yang berkelanjutan.
Kegiatan ini dilaksanakan di beberapa titik binaan LLHPB PCA Gamping dengan melibatkan dosen dan mahasiswa lintas program studi di Unisa Yogyakarta, khususnya dari bidang kesehatan dan lingkungan. Program PESONA dirancang untuk mendorong kemandirian masyarakat dalam memilah dan mengelola sampah rumah tangga menjadi kompos, eco-enzyme, dan produk olahan ramah lingkungan lainnya.
“PESONA tidak hanya sekadar tentang mengelola sampah, tetapi juga membangun kesadaran kolektif masyarakat untuk menjadikan lingkungan sebagai ruang yang sehat dan produktif,” ungkap Ketua Tim Pengabdian Unisa Yogyakarta, yang juga Dosen Bioteknologi Unisa Yogyakarta, Arif Bimantara, Senin (4/8/2025).
Melalui pelatihan, praktik langsung, dan pendampingan rutin, warga diajak untuk mengubah kebiasaan membuang sampah menjadi aktivitas produktif bernilai ekonomi. Produk seperti maggot kering menjadi target utama dari pengabdian masyarakat bersama LLHPB PCA Gamping. Kerja sama Unisa Yogyakarta dengan LLHPB PCA Gamping ini juga merupakan wujud implementasi nilai-nilai green campus dan community engagement yang selama ini menjadi bagian penting dari misi tridharma perguruan tinggi.
Dengan berakhirnya program PESONA pada Juli 2025, Unisa Yogyakarta dan LLHPB PCA Gamping berharap semangat pengelolaan sampah organik secara mandiri dapat terus berkembang dan direplikasi di wilayah lain, demi terciptanya masyarakat yang sehat, produktif, dan peduli lingkungan.
https://www.unisayogya.ac.id/wp-content/uploads/2025/08/kesehatan-lingkungan.jpg10781430adminhttps://media.unisayogya.ac.id/wp-content/uploads/2024/01/Logo-Unisa_Horisontal_bg_putih.pngadmin2025-08-11 15:15:442025-08-11 15:15:51Tingkatkan Produktivitas dan Kesehatan Lingkungan, Unisa Yogyakarta dan LLHPB PCA Gamping Gelar Program PESONA
Dosen Administrasi Publik Universitas ‘Aisyiyah (Unisa) Yogyakarta, Gerry Katon Mahendra menyebut fenomena pengibaran bendera One Piece sebagai ekspresi protes masyarakat kepada pemerintah. Pemerintah sebaiknya melihat fenomena ini sebagai motivasi, masyarakat membutuhkan perbaikan dari kondisi saat ini.
“Menjadi fenomena menarik (Pengibaran bendera One Piece), jika ditinjau dari sudut pandang administrasi publik fenomena ini merupakan salah satu bentuk ekspresi protes masyarakat terkait kondisi tata kelola negara yang dianggap belum sesuai harapan masyarakat. Misalnya berkaitan dengan kebijakan pajak, lapangan pekerjaan, dan daya beli masyarakat yang dianggap belum sesuai harapan,” ucap Gerry, Sabtu (9/8/2025).
Gerry mengungkapkan pemerintah sebaiknya melihat ini sebagai motivasi, bahwa masyarakat membutuhkan perubahan atau perbaikan dari kondisi saat ini. “Bendera non negara ini dapat disikapi sebagai simbol kritik yang sebaiknya dijawab dengan kinerja yang lebih baik,” ungkap Gerry.
Ia mengatakan bahwa pengibaran bendera ini bukan sebagai pelanggaran selama tidak melanggar ketentuan perundangan, tidak dibenturkan dengan simbol negara, pengibaran tidak lebih tinggi atau bersanding dengan bendera merah putih. “Saya berpendapat bahwa ini bagian dari ekspresi masyarakat dalam menyuarakan kritik dan harapan akan kondisi yang lebih baik lagi,” kata Gerry.
Gerry mengatakan pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 dijelaskan pengibaran simbol non‑negara seperti bendera organisasi atau lambang budaya harus tunduk pada ketentuan aturan yang mengutamakan kedudukan Bendera Merah Putih di posisi utama, memperbolehkan bendera asing hanya dalam konteks diplomatik, serta melarang simbol separatis yang bisa mengganggu nilai kesatuan bangsa. Cukup jelas diterangkan bahwa tidak boleh merendahkan martabat Bendera Pusaka, sehingga pengibaran bendera simbol seperti yang viral saat ini kembali lagi merujuk pada ketentuan yang ada.
“Jika berdiri tunggal pada ruang-ruang yang diperbolehkan, tentu dapat ditafsirkan tidak melanggar,” tegas Gerry.
Gerry menyarankan pemerintah perlu menerapkan pendekatan dialogis, persuasif, dan partisipatif yang memberi ruang ekspresi kreatif generasi muda, namun tetap menanamkan nilai kebangsaan melalui edukasi, kolaborasi budaya, dan keteladanan publik. “Jika berkaitan dengan kondisi negara yang kurang ideal, pemerintah jangan lupa juga untuk terus berupaya terbuka terhadap kritik dan memperbaiki/meningkatkan kualitas kinerja,” ujar Gerry.
Gerry melihat sampai hari ini pemerintah pusat dan beberapa pemerintah daerah tidak mempermasalahkan, selama tidak melanggar aturan. Namun, pada tataran teknis lapangan ia melihat beberapa pemberitaan terkait perintah penghapusan gambar atau simbol tertentu.
“Pemerintah sebaiknya berupaya lebih konsisten dalam mengambil kebijakan, tidak represif, mengutamakan pendekatan terbuka dan komunikatif terhadap masyarakat. Upaya ini dirasa akan lebih efektif dalam meredam polarisasi dan meningkatkan kesadaran masyarakat. Alih-alih mengutamakan pendekatan pelarangan secara keras,” ucapnya.
Ia juga menyinggung anak muda saat ini bagian dari Gen Z dalam fase bertumbuh untuk memahami berbagai situasi, termasuk didalamnya belajar memahami situasi negara saat ini. Dengan karakter Gen Z yang dikenal kreatif, out of the box dan berfikir cepat sangat mungkin caranya mengekspresikan perasaan akan berbeda dari generasi sebelumnya, maka pergeseran budaya menjadi tidak terelakkan.
“Kondisi tersebut, selama tidak melanggar norma dan aturan, saya berpendapat sah saja dilakukan. Hal ini relevan dengan kalimat setiap orang ada masanya, mungkin saat ini memang eranya gen Z berekspresi dengan caranya. Tugas generasi sebelumnya membimbing dan mengarahkan agar tidak kebablasan,” kata Gerry.
https://www.unisayogya.ac.id/wp-content/uploads/2025/08/one-piece.jpg6751200adminhttps://media.unisayogya.ac.id/wp-content/uploads/2024/01/Logo-Unisa_Horisontal_bg_putih.pngadmin2025-08-11 10:30:322025-08-11 10:33:49Pengibaran Bendera One Piece Kritik yang Perlu Dijawab dengan Kinerja Baik
Kasus Leptospirosis di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menjadi perhatian beberapa waktu terakhir. Dosen Fakultas Kedokteran Universitas ‘Aisyiyah (Unisa) Yogyakarta, dr. Henny Cloridina, M.H memberikan saran yang bisa dilakukan masyarakat untuk mencegah Leptospirosis dan cara menanganinya jika terinfeksi.
Berdasar data Dinas Kesehatan (Dinkes) DIY kasus Leptospirosis hingga Juli 2025 tercatat ada 282 kasus. Kasus Leptospirosis ini tersebar di beberapa kabupaten/ kota di DIY. Kabupaten Bantul tercatat 165 kasus, kemudian di Kabupaten Sleman 53 kasus, lalu, Kabupaten Kulonprogo 32 kasus, Kota Yogyakarta 21 kasus, dan Kabupaten Gunungkidul 11 kasus.
Dina menjelaskan Leptospirosis atau penyakit kencing tikus adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan bakteri Leptospira sp., yaitu suatu bakteri Gram negatif golongan Spirochaeta. Penyakit ini ditularkan melalui hewan perantara (reservoir) tikus, anjing, babi, sapi dan kambing. “Tikus adalah reservoir utama penyakit ini dan bakteri Leptospira sp. disimpan dalam tubulus ginjal tikus dan dikeluarkan melalui urin,” jelas Dina, Rabu (6/8/2025).
Setidaknya ada empat faktor yang mempengaruhi Leptospirosis. Pertama, faktor lingkungan (faktor curah hujan, sanitasi yang buruk, kepadatan populasi tikus). Kedua, faktor individu (adanya luka, daya tahan tubuh, pekerjaan beresiko). Ketiga, faktor sosial ekonomi (pemukiman kumuh, kurangnya pengetahuan). Keempat, faktor perilaku (tidak menggunakan APD, pola hidup tidak bersih).
Dina mengungkapkan gejala yang timbul dari Leptospirosis bervariasi dan mirip dengan penyakit infeksi lain seperti demam berdarah, malaria dan penyakit demam akut. Ciri khas Leptospirosis termasuk biphasic, artinya ada periode gejala muncul dan dirasakan pasien, tapi kemudian pasien tampak seperti sehat tanpa gejala. Jika terjadi infeksi, gejala yang dapat dirasakan seperti tubuh menggigil, batuk, diare, tiba-tiba sakit kepala, demam tinggi, nyeri otot terutama betis, serta hilang nafsu makan.
“Nyeri otot hebat di bagian betis ini sering menjadi pertanda yang jelas dari kondisi terinfeksi Leptospira sp. Kondisi icterus atau mukosa tubuh (kulit, mata) terlihat kuning, merupakan kondisi yang menandakan Leptospirosis berat (dikenal dengan penyakit Weil),” jelas Dina.
Cara Mencegah dan Menanganinya
Dina membagikan saran kepada masyarakat untuk mencegah Leptospirosis. Pertama menjaga kebersihan lingkungan, membersihkan sampah rutin, jangan ada tumpukan barang bekas, memastikan saluran air tidak tersumbat agar tidak tergenang. Kedua, menjaga kebersihan diri dengan mencuci tangan dengan sabun, mengenakan alat pelindung diri yang diperlukan, hindari bermain di genangan air.
“Ketiga, kendalikan populasi tikus dengan menutup makanan di meja, memasang perangkap tikus. Keempat, mengenali gejala Leptospirosis, agar bisa waspada dan mengambil tindakan yang tepat jika gejala ke arah darurat,” ucap Dina.
Dina mengatakan jika terkena Leptospirosis, sebaiknya segera memeriksakan diri ke dokter jika sudah meminum obat demam, tapi tidak turun atau maksimal 3 hari sakit. Kedua, memperbanyak minum air putih untuk mencegah dehidrasi karena demam, dan istirahat yang cukup.
“Minum obat sesuai anjuran dokter. Cek laborat sesuai anjuran dokter. Kenali tanda bahaya Leptospirosis, seperti kulit dan mukosa tubuh kuning, volume urin sedikit/kencing kurang dari 5 kali per hari, nyeri otot hebat di betis/punggung,” ungkap Dina.
Dina menyebut Fakultas Kedokteran Unisa Yogyakarta juga mencoba mengambil peran untuk menangani Leptospirosis. “Jika diperlukan melakukan sosialisasi terkait Leptospirosis. Memberikan bantuan SDM nakes dalam pemeriksaan bakti sosial yang diperlukan,” ucap Dina.
https://www.unisayogya.ac.id/wp-content/uploads/2025/08/Leptospirosis.jpg10001500adminhttps://media.unisayogya.ac.id/wp-content/uploads/2024/01/Logo-Unisa_Horisontal_bg_putih.pngadmin2025-08-08 16:21:532025-08-08 16:22:19Leptospirosis Merebak, Dosen Fakultas Kedokteran Unisa Yogyakarta Beri Tips Mencegah dan Menangani