Tim Kemanusiaan Universitas ‘Aisyiyah (UNISA) Yogyakarta bersama program DIKTI Berdampakkembali melanjutkan pelayanan kesehatan terpadu pada hari ketiga pelaksanaan misi kemanusiaan di wilayah Sorkam Kiri, Kabupaten Tapanuli Tengah. Kegiatan ini menjadi bagian dari komitmen UNISA Yogyakarta dalam menghadirkan layanan kesehatan bagi masyarakat terdampak bencana.
DIKTI Berdampak
Pada hari ketiga layanan, tim mencatat 72 pasien medis dan 50 pasien fisioterapi yang mendapatkan penanganan kesehatan. Dengan demikian, total pasien yang telah terlayani sejak hari pertama mencapai 219 pasien. Pelayanan berlangsung lancar dengan sistem dua jalur untuk memaksimalkan alur pemeriksaan dan terapi.
Dosen Fisioterapi UNISA Yogyakarta sekaligus anggota Tim Kemanusiaan, Shofal Jamil, S.Ft., M.Sc., menjelaskan bahwa meningkatnya jumlah pasien fisioterapi menunjukkan kebutuhan masyarakat yang cukup tinggi terhadap layanan pemulihan fungsi gerak.
“Kami menerapkan strategi Physio by Priority, yaitu memprioritaskan penanganan berdasarkan keluhan nyeri dan hasil asesmen patologi pasien. Pendekatan ini penting agar layanan tetap berkualitas meskipun jumlah pasien terus meningkat,” jelas Shofal.
Ia menambahkan, metode terapi yang diberikan meliputi Manual Therapy, Exercise, dan Stretching, disesuaikan dengan kondisi masing-masing pasien. Selain terapi langsung, pasien juga dibekali lembar instruksi latihan mandiri agar proses pemulihan dapat dilanjutkan secara mandiri di rumah.
“Kami ingin pasien tidak hanya merasa lebih baik saat diterapi di lokasi, tetapi juga memiliki bekal pengetahuan untuk menjaga kondisi tubuhnya setelah layanan selesai,” tambahnya.
Dari sisi sarana pendukung, tim mencatat kebutuhan tambahan berupa satu meja dan dua kursiuntuk menunjang kenyamanan pelayanan. Untuk meningkatkan efisiensi pemeriksaan tekanan darah, tim juga telah melakukan pengadaan alat tensi digital otomatis senilai Rp620.000. Manajemen farmasi turut menekankan perlunya penambahan variasi obat sesuai kebutuhan harian pasien, khususnya obat tetes mata yang mulai banyak dibutuhkan.
Dalam aspek pendanaan, realisasi anggaran tahap awal sebesar Rp10 juta telah disalurkan. Selain itu, terdapat tambahan plafon anggaran sebesar Rp10 juta yang dialokasikan untuk pengadaan paket sembako dan logistik bantuan. Mobilitas tim di lapangan juga diperkuat melalui perpanjangan sewa kendaraan, menyesuaikan kondisi geografis dan jarak tempuh antarwilayah layanan.
Shofal Jamil menegaskan bahwa manajemen waktu perjalanan menjadi perhatian penting agar durasi layanan kepada masyarakat tetap optimal setiap harinya.
Sementara itu, dokumentasi video kegiatan telah dipublikasikan, dan laporan serta konten tambahan direncanakan untuk diunggah melalui akun LPPM UNISA Yogyakarta pada malam hari.
Untuk agenda pelayanan selanjutnya di Sibuluan Indah, Tim Kemanusiaan UNISA Yogyakarta–DIKTI Berdampak akan membawa tambahan meja dan kursi, mengoptimalkan penggunaan tensi digital, serta mempertahankan fokus layanan fisioterapi berbasis prioritas guna menjaga kualitas pelayanan di tengah meningkatnya jumlah pasien.
https://www.unisayogya.ac.id/wp-content/uploads/2025/12/Dikti-Berdampak.jpeg9631280adminhttps://media.unisayogya.ac.id/wp-content/uploads/2024/01/Logo-Unisa_Horisontal_bg_putih.pngadmin2025-12-22 14:44:272025-12-22 14:44:29Tim Kemanusiaan UNISA Yogyakarta: DIKTI Berdampak Lanjutkan Misi Kemanusiaan di Sorkam Kiri
Istilah pendusta agama sering disederhanakan sebagai mereka yang menolak memberi makan anak yatim dan enggan membantu fakir miskin. Namun, wawasan etika Islam yang lebih holistik—sebagaimana dibingkai dalam Surah Al-Ma’un mengajak kita membaca tanggung jawab sosial dalam skala yang lebih luas: menjaga kehidupan bersama termasuk lingkungan yang menopang kehidupan itu sendiri.
Ketika lingkungan rusak akibat tangan manusia baik melalui eksploitasi sumber daya yang serakah, alih fungsi lahan besar-besaran, maupun pencemaran sistemik dampaknya langsung dan tak langsung mempengaruhi komunitas paling rentan: anak yatim, lansia, disabilitas, keluarga berpenghasilan rendah, dan masyarakat yang kehilangan mata pencaharian. Dengan perspektif itu, mereka yang secara sadar merusak lingkungan dapat dipahami bukan hanya sebagai pelanggar etika sosial semata, tetapi sebagai “pendusta agama” dalam makna etika yang lebih luas.
Etika Teologis
Data lingkungan Indonesia menunjukkan bahwa meski ada usaha mitigasi, realitas kerusakan masih nyata. Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) periode 2019–2023, emisi kebakaran hutan dan lahan telah menurun sekitar 70 persen dari puncak sebelumnya, menunjukkan adanya upaya pengendalian kebakaran hutan yang lebih baik. Namun ini tetap mencerminkan besarnya masalah yang harus dihadapi selama beberapa tahun terakhir.
Statistik deforestasi terbaru menunjukkan bahwa laju deforestasi Indonesia masih berada pada angka yang signifikan: Data deforestasi Indonesia 2024 menunjukkan peningkatan menjadi sekitar 261.575 hektare (ha), sedangkan tutupan hutan nasional kini hanya sekitar 51,1% dari total daratan Indonesia setelah mengalami penurunan bertahun-tahun akibat pembukaan lahan untuk pertanian, perkebunan, dan pertambangan.
Pemantauan titik panas (hotspot) oleh KLHK pada Juli 2025 menunjukkan bahwa 346 titik panas terdeteksi dalam 24 jam terakhir di pulau-pulau Indonesia, yang menandakan masih terjadinya kejadian kebakaran hutan dan lahan secara sporadis setiap musim kemarau.
Sebagai indikator lain, Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) secara umum memang mengalami fluktuasi, dan terdapat tren peningkatan di beberapa aspek seperti kualitas udara dan air laut dari tahun ke tahun, tetapi kualitas lingkungan secara keseluruhan masih jauh dari ideal terutama di wilayah perkotaan dan kawasan industri.
Kerusakan lingkungan tidak hanya persoalan statistik—dampaknya bersifat langsung terhadap kehidupan masyarakat. Data bencana menunjukkan bahwa Indonesia terus mengalami banjir, tanah longsor, dan bencana hidrometeorologis lainnya yang semakin intens dalam lima tahun terakhir. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat ribuan kejadian bencana sepanjang 2025, dengan sebagian besar berupa banjir dan cuaca ekstrem yang memaksa ratusan ribu keluarga mengungsi.
Di sisi lain, banjir besar yang melanda Sumatra pada akhir 2025 menewaskan lebih dari seribu jiwa dan mengakibatkan sekitar lebih dari 3,2 juta orang terdampak serta lebih dari satu juta orang harus mengungsi akibat banjir dan tanah longsor.
Bencana semacam ini tidak hanya menimbulkan korban jiwa. Rumah, sekolah, ladang pertanian, dan usaha kecil hancur, sehingga banyak keluarga kehilangan sumber penghidupan mereka. Anak-anak yang orang tuanya menjadi korban bencana kini menghadapi masa depan yang lebih sulit sebuah gambaran nyata bagaimana kerusakan lingkungan memicu kemiskinan struktural dan kelahiran lebih banyak anak yatim, bahkan sebelum orang tua mereka meninggal dunia.
Pemahaman bahwa lingkungan hidup merupakan bagian dari amanah moral bukanlah gagasan baru. Albert Schweitzer (1875–1965), filsuf dan teolog Prancis-Jerman, dalam karya Civilization and Ethics (1923) pernah menegaskan “ethics is nothing else than reverence for life.” Dengan kata lain, etika bermula dari sikap hormat terhadap kehidupan itu sendiri termasuk alam yang menopang kehidupan manusia dan makhluk lainnya.
Dalam tradisi Islam, gagasan ini juga tercermin melalui pemikiran Imam Abu Hamid al-Ghazali (1058–1111), salah satu ulama besar Islam, yang dalam karyanya Ihya’ ‘Ulum al-Din menegaskan bahwa manusia adalah khalifah (wakil Tuhan) di bumi. Sebagai khalifah, manusia tidak diberi hak untuk semena-mena terhadap lingkungan, tetapi justru diwajibkan menjaga keseimbangan dan kelangsungan ekosistem yang menjadi tempat hidup bersama.
Pendusta Agama
Ketika kerusakan lingkungan menyebabkan bencana dan derita sosial yang meluas seperti banjir, tanah longsor, kekeringan, dan polusi pertanyaan moral muncul: Bagaimana mungkin kita tetap merasa beriman tapi abai terhadap amanah lingkungan yang menjadi tempat hidup umat manusia? Bahkan lebih jauh, kontribusi eksploitasi lingkungan terhadap kemiskinan struktural berarti bahwa tindakan tersebut juga berdampak pada generasi paling rentan, termasuk anak yatim dan keluarga miskin yang sering kali tidak memiliki sumber daya untuk pulih dari bencana ekologis. Mereka dan aktor-aktor perusak lingkungan adalah pendusta agama hakiki. Karena ulah tangan mereka yang serakah dapat menyebabkan yatim dan kemiskinan yang permanen. Itulah pendusta agama dalam konteks surat Al-Maun hari ini.
Ungkapan Mahatma Gandhi (1869–1948) pernah menyentil kesadaran kolektif: “The Earth provides enough to satisfy every man’s needs, but not every man’s greed”. Kerakusan yang merusak lingkungan tidak hanya melanggar etika manusia sebagai makhluk sosial tetapi juga berlawanan dengan prinsip moral agama yang menghargai kehidupan sebagai amanah.
Menjaga lingkungan hidup bukan sekadar tindakan ekologi ia merupakan tanggung jawab teologis dan etika sosial. Ketika tindakan manusia merusak alam hingga menciptakan penderitaan sosial yang luas, maka kerusakan itu bukan hanya kesalahan teknis tetapi juga pengingkaran terhadap nilai agama yang mengajarkan keadilan dan keberpihakan pada kehidupan.
Perusak lingkungan—yang dengan sengaja atau lalai mendorong kerusakan ekosistem sejatinya adalah pendusta agama dalam dimensi etika yang lebih luas, karena mereka telah mencabut kehidupan dari mereka yang paling lemah dan rentan. Agama sejati mengajarkan agar kita memelihara bumi ini sebagai amanah bersama, bukan merusaknya demi keuntungan sesaat.
https://www.unisayogya.ac.id/wp-content/uploads/2025/12/Dr.-Nurdin.jpg873831adminhttps://media.unisayogya.ac.id/wp-content/uploads/2024/01/Logo-Unisa_Horisontal_bg_putih.pngadmin2025-12-22 11:06:112025-12-22 11:06:13Perusak Lingkungan adalah Pendusta Agama