Kesehatan lingkungan

Universitas ‘Aisyiyah (Unisa) Yogyakarta bekerja sama dengan Lembaga Lingkungan Hidup dan Penanggulangan Bencana (LLHPB) Pimpinan Cabang Aisyiyah (PCA) Gamping melaksanakan program pengabdian masyarakat bertajuk PESONA (Pengelolaan Sampah Organik Mandiri) yang berlangsung sejak Februari hingga Juli 2025. Program ini hadir sebagai upaya konkret dalam meningkatkan produktivitas masyarakat dan menjaga kesehatan lingkungan melalui pengelolaan sampah organik yang berkelanjutan.

Kegiatan ini dilaksanakan di beberapa titik binaan LLHPB PCA Gamping dengan melibatkan dosen dan mahasiswa lintas program studi di Unisa Yogyakarta, khususnya dari bidang kesehatan dan lingkungan. Program PESONA dirancang untuk mendorong kemandirian masyarakat dalam memilah dan mengelola sampah rumah tangga menjadi kompos, eco-enzyme, dan produk olahan ramah lingkungan lainnya.

“PESONA tidak hanya sekadar tentang mengelola sampah, tetapi juga membangun kesadaran kolektif masyarakat untuk menjadikan lingkungan sebagai ruang yang sehat dan produktif,” ungkap Ketua Tim Pengabdian Unisa Yogyakarta, yang juga Dosen Bioteknologi Unisa Yogyakarta, Arif Bimantara, Senin (4/8/2025).

Melalui pelatihan, praktik langsung, dan pendampingan rutin, warga diajak untuk mengubah kebiasaan membuang sampah menjadi aktivitas produktif bernilai ekonomi. Produk seperti maggot kering menjadi target utama dari pengabdian masyarakat bersama LLHPB PCA Gamping. Kerja sama Unisa Yogyakarta dengan LLHPB PCA Gamping ini juga merupakan wujud implementasi nilai-nilai green campus dan community engagement yang selama ini menjadi bagian penting dari misi tridharma perguruan tinggi.

Dengan berakhirnya program PESONA pada Juli 2025, Unisa Yogyakarta dan LLHPB PCA Gamping berharap semangat pengelolaan sampah organik secara mandiri dapat terus berkembang dan direplikasi di wilayah lain, demi terciptanya masyarakat yang sehat, produktif, dan peduli lingkungan.

One piece

Dosen Administrasi Publik Universitas ‘Aisyiyah (Unisa) Yogyakarta, Gerry Katon Mahendra menyebut fenomena pengibaran bendera One Piece sebagai ekspresi protes masyarakat kepada pemerintah. Pemerintah sebaiknya melihat fenomena ini sebagai motivasi, masyarakat membutuhkan perbaikan dari kondisi saat ini.

“Menjadi fenomena menarik (Pengibaran bendera One Piece), jika ditinjau dari sudut pandang administrasi publik fenomena ini merupakan salah satu bentuk ekspresi protes masyarakat terkait kondisi tata kelola negara yang dianggap belum sesuai harapan masyarakat. Misalnya berkaitan dengan kebijakan pajak, lapangan pekerjaan, dan daya beli masyarakat yang dianggap belum sesuai harapan,” ucap Gerry, Sabtu (9/8/2025).

Gerry mengungkapkan pemerintah sebaiknya melihat ini sebagai motivasi, bahwa masyarakat membutuhkan perubahan atau perbaikan dari kondisi saat ini. “Bendera non negara ini dapat disikapi sebagai simbol kritik yang sebaiknya dijawab dengan kinerja yang lebih baik,” ungkap Gerry.

Ia mengatakan bahwa pengibaran bendera ini bukan sebagai pelanggaran selama tidak melanggar ketentuan perundangan, tidak dibenturkan dengan simbol negara, pengibaran tidak lebih tinggi atau bersanding dengan bendera merah putih. “Saya berpendapat bahwa ini bagian dari ekspresi masyarakat dalam menyuarakan kritik dan harapan akan kondisi yang lebih baik lagi,” kata Gerry.

Gerry mengatakan pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 dijelaskan pengibaran simbol non‑negara seperti bendera organisasi atau lambang budaya harus tunduk pada ketentuan aturan yang mengutamakan kedudukan Bendera Merah Putih di posisi utama, memperbolehkan bendera asing hanya dalam konteks diplomatik, serta melarang simbol separatis yang bisa mengganggu nilai kesatuan bangsa. Cukup jelas diterangkan bahwa tidak boleh merendahkan martabat Bendera Pusaka, sehingga pengibaran bendera simbol seperti yang viral saat ini kembali lagi merujuk pada ketentuan yang ada. 

“Jika berdiri tunggal pada ruang-ruang yang diperbolehkan, tentu dapat ditafsirkan tidak melanggar,” tegas Gerry.

Gerry menyarankan pemerintah perlu menerapkan pendekatan dialogis, persuasif, dan partisipatif yang memberi ruang ekspresi kreatif generasi muda, namun tetap menanamkan nilai kebangsaan melalui edukasi, kolaborasi budaya, dan keteladanan publik. “Jika berkaitan dengan kondisi negara yang kurang ideal, pemerintah jangan lupa juga untuk terus berupaya terbuka terhadap kritik dan memperbaiki/meningkatkan kualitas kinerja,” ujar Gerry.

Gerry melihat sampai hari ini pemerintah pusat dan beberapa pemerintah daerah tidak mempermasalahkan, selama tidak melanggar aturan. Namun, pada tataran teknis lapangan ia melihat beberapa pemberitaan terkait perintah penghapusan gambar atau simbol tertentu. 

“Pemerintah sebaiknya berupaya lebih konsisten dalam mengambil kebijakan, tidak represif, mengutamakan pendekatan terbuka dan komunikatif terhadap masyarakat. Upaya ini dirasa akan lebih efektif dalam meredam polarisasi dan meningkatkan kesadaran masyarakat. Alih-alih mengutamakan pendekatan pelarangan secara keras,” ucapnya.

Ia juga menyinggung anak muda saat ini bagian dari Gen Z dalam fase bertumbuh untuk memahami berbagai situasi, termasuk didalamnya belajar memahami situasi negara saat ini. Dengan karakter Gen Z yang dikenal kreatif, out of the box dan berfikir cepat sangat mungkin caranya mengekspresikan perasaan akan berbeda dari generasi sebelumnya, maka pergeseran budaya menjadi tidak terelakkan. 

“Kondisi tersebut, selama tidak melanggar norma dan aturan, saya berpendapat sah saja dilakukan. Hal ini relevan dengan kalimat setiap orang ada masanya, mungkin saat ini memang eranya gen Z berekspresi dengan caranya. Tugas generasi sebelumnya membimbing dan mengarahkan agar tidak kebablasan,” kata Gerry.

Leptospirosis

Kasus Leptospirosis di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menjadi perhatian beberapa waktu terakhir. Dosen Fakultas Kedokteran Universitas ‘Aisyiyah (Unisa) Yogyakarta, dr. Henny Cloridina, M.H memberikan saran yang bisa dilakukan masyarakat untuk mencegah Leptospirosis dan cara menanganinya jika terinfeksi.

Berdasar data Dinas Kesehatan (Dinkes) DIY kasus Leptospirosis hingga Juli 2025 tercatat ada 282 kasus. Kasus Leptospirosis ini tersebar di beberapa kabupaten/ kota di DIY. Kabupaten Bantul tercatat 165 kasus, kemudian di Kabupaten Sleman 53 kasus, lalu, Kabupaten Kulonprogo 32 kasus, Kota Yogyakarta 21 kasus, dan Kabupaten Gunungkidul 11 kasus.

Dina menjelaskan Leptospirosis atau penyakit kencing tikus adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan bakteri Leptospira sp., yaitu suatu bakteri Gram negatif golongan Spirochaeta. Penyakit ini ditularkan melalui hewan perantara (reservoir) tikus, anjing, babi, sapi dan kambing. “Tikus adalah reservoir utama penyakit ini dan bakteri Leptospira sp. disimpan dalam tubulus ginjal tikus dan dikeluarkan melalui urin,” jelas Dina, Rabu (6/8/2025).

Setidaknya ada empat faktor yang mempengaruhi Leptospirosis. Pertama, faktor lingkungan (faktor curah hujan, sanitasi yang buruk, kepadatan populasi tikus). Kedua, faktor individu (adanya luka, daya tahan tubuh, pekerjaan beresiko). Ketiga, faktor sosial ekonomi (pemukiman kumuh, kurangnya pengetahuan). Keempat, faktor perilaku (tidak menggunakan APD, pola hidup tidak bersih).

Dina mengungkapkan gejala yang timbul dari Leptospirosis bervariasi dan mirip dengan penyakit infeksi lain seperti demam berdarah, malaria dan penyakit demam akut. Ciri khas Leptospirosis termasuk biphasic, artinya ada periode gejala muncul dan dirasakan pasien, tapi kemudian pasien tampak seperti sehat tanpa gejala. Jika terjadi infeksi, gejala yang dapat dirasakan seperti tubuh menggigil, batuk, diare, tiba-tiba sakit kepala, demam tinggi, nyeri otot terutama betis, serta hilang nafsu makan.

“Nyeri otot hebat di bagian betis ini sering menjadi pertanda yang jelas dari kondisi terinfeksi Leptospira sp. Kondisi icterus atau mukosa tubuh (kulit, mata) terlihat kuning, merupakan kondisi yang menandakan Leptospirosis berat (dikenal dengan penyakit Weil),” jelas Dina.

Cara Mencegah dan Menanganinya

Dina membagikan saran kepada masyarakat untuk mencegah Leptospirosis. Pertama menjaga kebersihan lingkungan, membersihkan sampah rutin, jangan ada tumpukan barang bekas, memastikan saluran air tidak tersumbat agar tidak tergenang. Kedua, menjaga kebersihan diri dengan mencuci tangan dengan sabun, mengenakan alat pelindung diri yang diperlukan, hindari bermain di genangan air.

“Ketiga, kendalikan populasi tikus dengan menutup makanan di meja, memasang perangkap tikus. Keempat, mengenali gejala Leptospirosis, agar bisa waspada dan mengambil tindakan yang tepat jika gejala ke arah darurat,” ucap Dina.

Dina mengatakan jika terkena Leptospirosis, sebaiknya segera memeriksakan diri ke dokter jika sudah meminum obat demam, tapi tidak turun atau maksimal 3 hari sakit. Kedua, memperbanyak minum air putih untuk mencegah dehidrasi karena demam, dan istirahat yang cukup.

“Minum obat sesuai anjuran dokter. Cek laborat sesuai anjuran dokter. Kenali tanda bahaya Leptospirosis, seperti kulit dan mukosa tubuh kuning, volume urin sedikit/kencing kurang dari 5 kali per hari, nyeri otot hebat di betis/punggung,” ungkap Dina.

Dina menyebut Fakultas Kedokteran Unisa Yogyakarta juga mencoba mengambil peran untuk menangani Leptospirosis. “Jika diperlukan melakukan sosialisasi terkait Leptospirosis. Memberikan bantuan SDM nakes dalam pemeriksaan bakti sosial yang diperlukan,” ucap Dina.

Tim media

Biro Humas dan Protokol (BHP) Universitas `Aisyiyah (Unisa) Yogyakarta menerima kunjungan studi banding dari tim media Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan (Diktilitbang) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah. Pertemuan ini berlangsung di ruang meeting lantai 7 Gedung Siti Moendjijah pada Selasa (5/8/2025), dan fokus pada pertukaran ilmu terkait strategi komunikasi digital dan pengelolaan media.

“Kami sangat menyambut baik kedatangan teman-teman untuk bisa saling berbagi kegiatan kehumasan, terutama yang berkaitan dengan pengelolaan website dan media sosial,” ujar Kepala BHP Unisa Yogyakarta, Sinta Maharani, M.I.Kom.

Sinta membuka ruang diskusi seluas-luasnya, mengajak teman-teman dari tim Media Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah untuk bertukar pengalaman pengelolaan media yang telah dilakukan oleh Humas Unisa Yogyakarta.

Perwakilan dari tim media Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah, Aprilia Sazira Sari, S.I.Kom., M.Sc, menjelaskan alasan dipilihnya Unisa Yogyakarta sebagai destinasi studi banding. “Kami tidak hanya datang untuk silaturahim, tetapi sebelumnya sudah mengamati dan menganalisis media yang diolah oleh Humas Unisa Yogyakarta. Kami melihat pengelolaan media sosial Unisa sangat unik dan menarik,” ungkap Aprilia.

Ia menambahkan, rekomendasi untuk memilih Unisa Yogyakarta sebagai tempat sharing juga datang langsung dari media PP Muhammadiyah. Sebanyak 10 delegasi dari tim media Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah hadir dalam kegiatan ini untuk saling bertukar ilmu dan pengalaman. Diskusi yang interaktif mencakup berbagai topik, seperti pengelolaan pemberitaan di website, strategi hubungan media, dan pemanfaatan platform media sosial untuk memperkuat citra institusi.

Kunjungan ini diharapkan dapat memperkuat sinergi antara unit kehumasan di lingkungan Muhammadiyah serta meningkatkan standar komunikasi publik di seluruh perguruan tinggi.

Rojali

Fenomena Rombongan Jarang Beli (Rojali) dan Rombongan Hanya Nanya (Rohana) di pusat perbelanjaan akhir-akhir ini, ramai diperbincangkan belakangan ini. Kebutuhan sosial, aktualisasi, hingga pencitraan diri menjadi faktor yang melatarbelakangi fenomena ini. 

Dosen Psikologi Universitas ‘Aisyiyah (Unisa) Yogyakarta, Ratna Yunita Setiyani Subardjo menjelaskan ada beberapa faktor yang melatarbelakangi fenomena Rojali dan Rohana. Pertama, kebutuhan sosial, dimana manusia memiliki kebutuhan untuk berinteraksi dengan orang lain, dan pusat perbelanjaan dapat menjadi tempat untuk memenuhi kebutuhan ini. 

Kedua, aktualisasi diri, pada beberapa orang mungkin mengunjungi pusat perbelanjaan untuk menunjukkan status sosial atau untuk merasa bagian dari kelompok tertentu. “Ketiga, pencitraan diri, sebagian orang mereka berpura-pura tertarik membeli suatu barang demi menciptakan kesan positif di mata orang lain. Kita kan ingin punya kesan positif dan merasa paling besok lagi orangnya sudah lupa atau gak ketemu,” jelas Nita, Sabtu (2/8/2025).

Nita mengatakan terkadang orang ingin memperoleh kesan positif dari orang lain, bahwa seseorang itu punya eksistensi untuk berbelanja meski hanya sekedar lihat dan nanya. “Toh lihat dan nanya hari ini, belum tentu tidak beli seterusnya,” kata Nita.

Di sisi lain ada kalanya karena memang kemampuan ekonomi sedang terbatas, maka perlu saving money atau ingin membandingkan harga di beberapa tempat. Terkadang pula ujungnya tidak jadi membeli, karena kemudian menyeleksi dan dirasa barang tersebut tidak penting atau tidak diperlukan.

“Daya beli kita itu akan menurun kalau saya mau beli sesuatu penuh dengan berbagai pertimbangan. Ini gak hanya berkesan negatif sebetulnya, tapi juga positif. Sebab saving money ini justru membuat kita lebih berhemat. Sekedar hiburan juga bisa bagi mereka yang penat di rumah, melakukan kontak sosial dan komunikasi bertemu orang lain dan menanyakan sesuatu menjadi satu healing tertentu agar kita tetap merasa ada kontak sosial dengan yang lainnya. Jadi sebenarnya bisa juga masuk sebagai satu hiburan bagi kita secara personal,” ungkap Nita.

Pelajaran dari Fenomena Rohana dan Rojali

Nita mengungkapkan tren Rojali dan Rohana memberikan beberapa pelajaran penting bagi masyarakat, khususnya terkait kematangan dalam bersosialisasi. Matang bukan hanya soal perkembangan dan kepribadian orang saja, tapi matang dan dewasa dalam bersosialisasi juga diperlukan agar langgeng dan komunikasi dengan lainnya didasarkan dengan pemenuhan saling mengerti menerima dan menguntungkan. 

“Beberapa hal yang bisa kita ambil sebagai manfaat atau pelajaran tren Rohana dan Rojali, pertama tentang konsumsi dan eksistensi. Fenomena ini menunjukkan bahwa konsumsi dan eksistensi tidak hanya tentang membeli barang, tetapi juga tentang bagaimana menunjukkan diri kita di depan orang lain,” kata Nita.

Kedua, tentang citra sosial. Citra sosial kita tidak hanya terbentuk dari apa yang dimiliki, tetapi juga dari bagaimana berinteraksi dengan orang lain dan menunjukkan diri di media sosial. “Ketiga, tentang empati dan pemahaman. Fenomena ini menunjukkan bahwa kita perlu lebih empati dan memahami makna sosial di balik perilaku orang lain, bukan hanya melihat dari sisi ejekan atau sindiran,” tutur Nita.

Nita mengajak melihat fenomena ini secara lebih bijak dan tidak semata dari sisi ejekan untuk mengikuti latah sosial dan egosentrisme saja. Perlu memahami bahwa setiap orang memiliki kebutuhan dan motivasi yang berbeda-beda, dan perlu lebih empati dan memahami satu sama lain sih. “Sebab sebaik-baik umat adalah yang bisa merasakan kalau orang lain sakit. Ya kita memahami bahwa sakit ya dibeginikan, jadi jangan lakukan,” ungkap Nita.

Nita menyebut untuk fenomena serupa di masa depan diyakini masih akan ada. Terus muncul dalam bentuk-bentuk baru. Ia memberi gambaran seperti virus, setelah ada penawarnya seperti vaksin, akan bermetamorfosa. “Perilaku manusia juga demikian, berkembang dan berkembang sesuai zaman, terutama dengan perkembangan teknologi dan perubahan perilaku konsumen. Kita perlu terus memantau dan memahami perubahan-perubahan ini untuk dapat beradaptasi dan berkembang secara harmoni saja, biar tetap sehat mental,” tutup Nita.