Pos

Leptospirosis

Kasus Leptospirosis di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menjadi perhatian beberapa waktu terakhir. Dosen Fakultas Kedokteran Universitas ‘Aisyiyah (Unisa) Yogyakarta, dr. Henny Cloridina, M.H memberikan saran yang bisa dilakukan masyarakat untuk mencegah Leptospirosis dan cara menanganinya jika terinfeksi.

Berdasar data Dinas Kesehatan (Dinkes) DIY kasus Leptospirosis hingga Juli 2025 tercatat ada 282 kasus. Kasus Leptospirosis ini tersebar di beberapa kabupaten/ kota di DIY. Kabupaten Bantul tercatat 165 kasus, kemudian di Kabupaten Sleman 53 kasus, lalu, Kabupaten Kulonprogo 32 kasus, Kota Yogyakarta 21 kasus, dan Kabupaten Gunungkidul 11 kasus.

Dina menjelaskan Leptospirosis atau penyakit kencing tikus adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan bakteri Leptospira sp., yaitu suatu bakteri Gram negatif golongan Spirochaeta. Penyakit ini ditularkan melalui hewan perantara (reservoir) tikus, anjing, babi, sapi dan kambing. “Tikus adalah reservoir utama penyakit ini dan bakteri Leptospira sp. disimpan dalam tubulus ginjal tikus dan dikeluarkan melalui urin,” jelas Dina, Rabu (6/8/2025).

Setidaknya ada empat faktor yang mempengaruhi Leptospirosis. Pertama, faktor lingkungan (faktor curah hujan, sanitasi yang buruk, kepadatan populasi tikus). Kedua, faktor individu (adanya luka, daya tahan tubuh, pekerjaan beresiko). Ketiga, faktor sosial ekonomi (pemukiman kumuh, kurangnya pengetahuan). Keempat, faktor perilaku (tidak menggunakan APD, pola hidup tidak bersih).

Dina mengungkapkan gejala yang timbul dari Leptospirosis bervariasi dan mirip dengan penyakit infeksi lain seperti demam berdarah, malaria dan penyakit demam akut. Ciri khas Leptospirosis termasuk biphasic, artinya ada periode gejala muncul dan dirasakan pasien, tapi kemudian pasien tampak seperti sehat tanpa gejala. Jika terjadi infeksi, gejala yang dapat dirasakan seperti tubuh menggigil, batuk, diare, tiba-tiba sakit kepala, demam tinggi, nyeri otot terutama betis, serta hilang nafsu makan.

“Nyeri otot hebat di bagian betis ini sering menjadi pertanda yang jelas dari kondisi terinfeksi Leptospira sp. Kondisi icterus atau mukosa tubuh (kulit, mata) terlihat kuning, merupakan kondisi yang menandakan Leptospirosis berat (dikenal dengan penyakit Weil),” jelas Dina.

Cara Mencegah dan Menanganinya

Dina membagikan saran kepada masyarakat untuk mencegah Leptospirosis. Pertama menjaga kebersihan lingkungan, membersihkan sampah rutin, jangan ada tumpukan barang bekas, memastikan saluran air tidak tersumbat agar tidak tergenang. Kedua, menjaga kebersihan diri dengan mencuci tangan dengan sabun, mengenakan alat pelindung diri yang diperlukan, hindari bermain di genangan air.

“Ketiga, kendalikan populasi tikus dengan menutup makanan di meja, memasang perangkap tikus. Keempat, mengenali gejala Leptospirosis, agar bisa waspada dan mengambil tindakan yang tepat jika gejala ke arah darurat,” ucap Dina.

Dina mengatakan jika terkena Leptospirosis, sebaiknya segera memeriksakan diri ke dokter jika sudah meminum obat demam, tapi tidak turun atau maksimal 3 hari sakit. Kedua, memperbanyak minum air putih untuk mencegah dehidrasi karena demam, dan istirahat yang cukup.

“Minum obat sesuai anjuran dokter. Cek laborat sesuai anjuran dokter. Kenali tanda bahaya Leptospirosis, seperti kulit dan mukosa tubuh kuning, volume urin sedikit/kencing kurang dari 5 kali per hari, nyeri otot hebat di betis/punggung,” ungkap Dina.

Dina menyebut Fakultas Kedokteran Unisa Yogyakarta juga mencoba mengambil peran untuk menangani Leptospirosis. “Jika diperlukan melakukan sosialisasi terkait Leptospirosis. Memberikan bantuan SDM nakes dalam pemeriksaan bakti sosial yang diperlukan,” ucap Dina.

Tim media

Biro Humas dan Protokol (BHP) Universitas `Aisyiyah (Unisa) Yogyakarta menerima kunjungan studi banding dari tim media Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan (Diktilitbang) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah. Pertemuan ini berlangsung di ruang meeting lantai 7 Gedung Siti Moendjijah pada Selasa (5/8/2025), dan fokus pada pertukaran ilmu terkait strategi komunikasi digital dan pengelolaan media.

“Kami sangat menyambut baik kedatangan teman-teman untuk bisa saling berbagi kegiatan kehumasan, terutama yang berkaitan dengan pengelolaan website dan media sosial,” ujar Kepala BHP Unisa Yogyakarta, Sinta Maharani, M.I.Kom.

Sinta membuka ruang diskusi seluas-luasnya, mengajak teman-teman dari tim Media Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah untuk bertukar pengalaman pengelolaan media yang telah dilakukan oleh Humas Unisa Yogyakarta.

Perwakilan dari tim media Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah, Aprilia Sazira Sari, S.I.Kom., M.Sc, menjelaskan alasan dipilihnya Unisa Yogyakarta sebagai destinasi studi banding. “Kami tidak hanya datang untuk silaturahim, tetapi sebelumnya sudah mengamati dan menganalisis media yang diolah oleh Humas Unisa Yogyakarta. Kami melihat pengelolaan media sosial Unisa sangat unik dan menarik,” ungkap Aprilia.

Ia menambahkan, rekomendasi untuk memilih Unisa Yogyakarta sebagai tempat sharing juga datang langsung dari media PP Muhammadiyah. Sebanyak 10 delegasi dari tim media Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah hadir dalam kegiatan ini untuk saling bertukar ilmu dan pengalaman. Diskusi yang interaktif mencakup berbagai topik, seperti pengelolaan pemberitaan di website, strategi hubungan media, dan pemanfaatan platform media sosial untuk memperkuat citra institusi.

Kunjungan ini diharapkan dapat memperkuat sinergi antara unit kehumasan di lingkungan Muhammadiyah serta meningkatkan standar komunikasi publik di seluruh perguruan tinggi.

Rojali

Fenomena Rombongan Jarang Beli (Rojali) dan Rombongan Hanya Nanya (Rohana) di pusat perbelanjaan akhir-akhir ini, ramai diperbincangkan belakangan ini. Kebutuhan sosial, aktualisasi, hingga pencitraan diri menjadi faktor yang melatarbelakangi fenomena ini. 

Dosen Psikologi Universitas ‘Aisyiyah (Unisa) Yogyakarta, Ratna Yunita Setiyani Subardjo menjelaskan ada beberapa faktor yang melatarbelakangi fenomena Rojali dan Rohana. Pertama, kebutuhan sosial, dimana manusia memiliki kebutuhan untuk berinteraksi dengan orang lain, dan pusat perbelanjaan dapat menjadi tempat untuk memenuhi kebutuhan ini. 

Kedua, aktualisasi diri, pada beberapa orang mungkin mengunjungi pusat perbelanjaan untuk menunjukkan status sosial atau untuk merasa bagian dari kelompok tertentu. “Ketiga, pencitraan diri, sebagian orang mereka berpura-pura tertarik membeli suatu barang demi menciptakan kesan positif di mata orang lain. Kita kan ingin punya kesan positif dan merasa paling besok lagi orangnya sudah lupa atau gak ketemu,” jelas Nita, Sabtu (2/8/2025).

Nita mengatakan terkadang orang ingin memperoleh kesan positif dari orang lain, bahwa seseorang itu punya eksistensi untuk berbelanja meski hanya sekedar lihat dan nanya. “Toh lihat dan nanya hari ini, belum tentu tidak beli seterusnya,” kata Nita.

Di sisi lain ada kalanya karena memang kemampuan ekonomi sedang terbatas, maka perlu saving money atau ingin membandingkan harga di beberapa tempat. Terkadang pula ujungnya tidak jadi membeli, karena kemudian menyeleksi dan dirasa barang tersebut tidak penting atau tidak diperlukan.

“Daya beli kita itu akan menurun kalau saya mau beli sesuatu penuh dengan berbagai pertimbangan. Ini gak hanya berkesan negatif sebetulnya, tapi juga positif. Sebab saving money ini justru membuat kita lebih berhemat. Sekedar hiburan juga bisa bagi mereka yang penat di rumah, melakukan kontak sosial dan komunikasi bertemu orang lain dan menanyakan sesuatu menjadi satu healing tertentu agar kita tetap merasa ada kontak sosial dengan yang lainnya. Jadi sebenarnya bisa juga masuk sebagai satu hiburan bagi kita secara personal,” ungkap Nita.

Pelajaran dari Fenomena Rohana dan Rojali

Nita mengungkapkan tren Rojali dan Rohana memberikan beberapa pelajaran penting bagi masyarakat, khususnya terkait kematangan dalam bersosialisasi. Matang bukan hanya soal perkembangan dan kepribadian orang saja, tapi matang dan dewasa dalam bersosialisasi juga diperlukan agar langgeng dan komunikasi dengan lainnya didasarkan dengan pemenuhan saling mengerti menerima dan menguntungkan. 

“Beberapa hal yang bisa kita ambil sebagai manfaat atau pelajaran tren Rohana dan Rojali, pertama tentang konsumsi dan eksistensi. Fenomena ini menunjukkan bahwa konsumsi dan eksistensi tidak hanya tentang membeli barang, tetapi juga tentang bagaimana menunjukkan diri kita di depan orang lain,” kata Nita.

Kedua, tentang citra sosial. Citra sosial kita tidak hanya terbentuk dari apa yang dimiliki, tetapi juga dari bagaimana berinteraksi dengan orang lain dan menunjukkan diri di media sosial. “Ketiga, tentang empati dan pemahaman. Fenomena ini menunjukkan bahwa kita perlu lebih empati dan memahami makna sosial di balik perilaku orang lain, bukan hanya melihat dari sisi ejekan atau sindiran,” tutur Nita.

Nita mengajak melihat fenomena ini secara lebih bijak dan tidak semata dari sisi ejekan untuk mengikuti latah sosial dan egosentrisme saja. Perlu memahami bahwa setiap orang memiliki kebutuhan dan motivasi yang berbeda-beda, dan perlu lebih empati dan memahami satu sama lain sih. “Sebab sebaik-baik umat adalah yang bisa merasakan kalau orang lain sakit. Ya kita memahami bahwa sakit ya dibeginikan, jadi jangan lakukan,” ungkap Nita.

Nita menyebut untuk fenomena serupa di masa depan diyakini masih akan ada. Terus muncul dalam bentuk-bentuk baru. Ia memberi gambaran seperti virus, setelah ada penawarnya seperti vaksin, akan bermetamorfosa. “Perilaku manusia juga demikian, berkembang dan berkembang sesuai zaman, terutama dengan perkembangan teknologi dan perubahan perilaku konsumen. Kita perlu terus memantau dan memahami perubahan-perubahan ini untuk dapat beradaptasi dan berkembang secara harmoni saja, biar tetap sehat mental,” tutup Nita.

Tom lembong

Dosen Administrasi Publik Universitas ‘Aisyiyah (Unisa) Yogyakarta, Gerry Katon Mahendra menilai abolisi yang diterima Mantan Menteri Perdagangan, Tom Lembong cukup layak. Hal tersebut tidak lepas dari fakta persidangan yang ada.

“Dengan mempertimbangkan fakta persidangan Tom Lembong dimana tidak ditemukan niat jahat mens rea untuk memperkaya diri dan pihak lain, tidak menikmati hasil korupsi, dan mengambil keputusan berdasarkan koordinasi serta mempertimbangkan kondisi saat itu, menurut saya cukup layak untuk mendapatkan abolisi. Tentu saja proses ini kembali menjadi hak penuh Presiden dengan memperhatikan situasi dan kondisi. Secara administratif, kondisi di atas cukup memenuhi unsur akuntabilitas dan keadilan,” ujar Gerry, Sabtu (2/8/2025).

Dalam konteks administrasi publik, isu abolisi terhadap Tom Lembong memberikan realitas bahwa masih banyak pekerjaan rumah dan tantangan untuk mengelola pemerintahan yang transparan, menjadikan hukum sebagai panglima pemerintahan, dan berkeadilan. “Lebih lanjut, semua pihak baiknya berbenah dan sudah saatnya perbedaan pandangan dikelola lebih demokratis,” ungkap Gerry.

Gerry menjelaskan abolisi merupakan hak yang dimiliki kepala negara untuk meniadakan tuntutan pidana. Hak abolisi diberikan dengan tetap memperhatikan pertimbangan DPR. Abolisi berbeda dengan grasi, meski merupakan hak prerogatif presiden namun sifatnya lebih kepada upaya pengurangan dan perubahan hukuman bagi terpidana. Sedangkan amnesti memiliki makna menghapus semua akibat hukum pidana terhadap orang yang menerimanya.

“Abolisi bukan sekedar diskresi administratif biasa, lebih kompleks dan ini merupakan hak konstitusional Presiden. Meskipun menjadi hak Presiden, dalam pelaksanaannya wajib memperhatikan aspirasi masyarakat, kebijaksanaan dan tetap dalam koridor hukum yang berlaku,” kata Gerry.

Pertimbangan pokok dari keputusan untuk memberi atau menolak abolisi adalah memastikan keadilan substantif, aspirasi kepentingan masyarakat dan integritas hukum yang dijalankan. Apabila aspek tersebut terpenuhi, maka sah saja jika abolisi diberikan.

Dalam prinsip akuntabilitas abolisi harus mampu menjamin hadirnya pertanggungjwaban secara moral dan hukum. Artinya pertimbangan abolisi tidak boleh mencederai keadilan hukum. Kedua, prinsip transparansi artinya proses pemberian abolisi harus terbuka dan dapat diakses publik serta menyingkirkan niatan-niatan manipulatif. Ketiga, mempertimbangkan prinsip keadilan, artinya abolisi diberikan jika dalam proses hukum terdapat dugaan atau kondisi ketidakadilan bagi seseorang.

“Abolisi tanpa mempertimbangan objektivitas tentu dapat merusak kepercayaan publik dan mengacaukan tatanan good governance suatu negara,” tegas Gerry.

Gerry mengatakan dampak dari abolisi tergantung dari bagaimana proses hukum yang dilalui seseorang sebelumnya. Dalam kasus Tom Lembong misalnya, sebagian besar publik merasa terdapat proses yang janggal dalam upaya hukum yang dilalui. “Sehingga ketika Presiden memberikan abolisi, sampai hari ini saya melihat respon publik masih cukup positif. Artinya masyarakat mengikuti dan memahami prosesnya, sehingga keputusan abolisi ini cukup dapat diterima,” ungkapnya.

Jika abolisi dilakukan dengan tidak mempertimbangkan aspek keadilan maka akan sangat mungkin untuk merusak tatanan birokrasi dan kepercayaan publik. Sebaliknya, proses abolisi yang clear akan membuat masyarakat menaruh kepercayaan tinggi terhadap pemerintah.

Menurut Gerry langkah normatif harus tetap dikedepankan dalam Keputusan abolisi. Pemenuhan unsur objektivitas, fakta hukum, aspirasi masyarakat tetap menjadi dasar utama. Terlepas dari ada atau tidaknya kepentingan politik, objektivitas dalam memandang kasus harus menjadi pertimbangan utama. 

“Kasus ini mengajarkan kita semua bahwa kekuasaan harus dijalankan dengan etika dan prinsip keadilan demokratis, serta publik memiliki peran penting dalam mengawalnya,” ujar Gerry.

Gerry juga berpesan kepada masyarakat harus mampu menjadi garda depan pengawasan, termasuk dalam konteks kebijakan abolisi dengan mendorong transparansi penjelasan terbuka dari pemerintah, dan memastikan prosesnya dilandasi prinsip keadilan. “Masyarakat, media, dan akademisi harus mampu mengawal agar abolisi tidak digunakan secara politis dan tebang pilih. Pengawasan publik adalah kunci agar setiap keputusan negara tetap berada dalam koridor hukum, etika, dan tata kelola pemerintahan yang sehat,” tutup Gerry.

Kerja sama

Universitas ‘Aisyiyah (UNISA) Yogyakarta resmi membuka Rapat Kerja Akhir Tahun (RKAT) 2025 yang dilaksanakan di Ruang SM 209, Gedung Siti Moenjiyah. Kegiatan ini menjadi momen penting dalam menyusun rencana operasional tahun akademik 2025/2026 yang juga merupakan tahun terakhir dari pelaksanaan Renstra Tahap Berkembang Fase I, Selasa (05/08/2025).

Dalam sambutannya, Rektor UNISA Yogyakarta, Dr. Warsiti, S.Kp., M.Kep., Sp.Mat, menegaskan bahwa tantangan yang dihadapi perguruan tinggi saat ini semakin kompleks dan tidak mudah. Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya membangun dan mengokohkan semangat kerja sama dan kebersamaan di seluruh lini universitas.

“Kita tidak bisa berjalan sendiri-sendiri. Tantangan ke depan semakin berat, dan hanya dengan kerja sama serta kebersamaan yang kokoh kita bisa menjawabnya dengan solusi yang tepat dan inovatif,” ujar Rektor.

Salah satu agenda penting dalam pembukaan RKAT adalah pemaparan capaian Indikator Kinerja Utama (IKU) dan Indikator Kinerja Tambahan (IKT) tahun akademik 2024/2025 yang disampaikan oleh Dr. Asri Hidayat, M.Keb, selaku Kepala Badan Penjaminan Mutu (BPM). Dalam paparannya, ia menyampaikan berbagai pencapaian strategis yang telah diraih oleh UNISA Yogyakarta, sekaligus memberikan catatan evaluatif sebagai dasar percepatan di tahun berikutnya.

RKAT tahun ini mengusung metode kerja komprehensif yang mencakup evaluasi pelaksanaan program dan anggaran, analisis capaian IKU-IKT, serta penyusunan rencana operasional baru dengan prinsip efektivitas dan efisiensi. Kegiatan berlangsung secara luring dan akan dilanjutkan dengan rapat-rapat kerja komisi, sidang pleno, serta proses review dan finalisasi hingga akhir Agustus 2025.

Sebanyak 77 peserta yang terdiri dari pimpinan universitas, pimpinan fakultas, ketua dan sekretaris program studi, serta kepala unit kerja turut hadir dalam pembukaan ini. Diharapkan melalui forum strategis ini, UNISA Yogyakarta semakin mantap dalam mewujudkan visinya sebagai universitas berwawasan kesehatan yang unggul berdasarkan nilai-nilai Islam Berkemajuan.