Psikolog UNISA Yogyakarta: Pengiriman Anak Nakal ke Barak Militer Bisa Jadi Salah Satu Jalan, Tapi Bukan Satu-satunya Solusi.
Kebijakan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, yang mengirimkan anak nakal ke barak militer menuai perdebatan di tengah masyarakat. Tidak hanya kritik, kebijakan ini juga memunculkan berbagai pandangan berbeda dari para ahli, termasuk dari dosen dan psikolog Universitas ’Aisyiyah (UNISA) Yogyakarta, Annisa Warastri., S.Psi, M.Psi, Psikolog.
Menurut Annisa, kebijakan ini bisa menjadi salah satu cara untuk menekan angka kenakalan anak, terutama jika dilihat dari sisi kedisipilinan. Ia menyebut bahwa anak nakal pada umumnya adalah anak yang keluar dari aturan, sehingga pendekatan yang harus dilakukan yaitu mengembalikan mereka pada struktur kedisiplinan.
“Definisi nakal itu keluar dari aturan kan? Bagimana cara dia supaya teratur? Ya masukin lagi ke aturan. Karena menurut saya untuk menangani anak nakal itu harus didisiplinkan, basicnya anak nakal itu kan tidak pernah dikekang oleh aturan,” kata Annisa, di UNISA, Kamis (22/5/2025).
Meskipun demikian, Annisa menegaskan bahwa pengiriman ke barak militer tidak bisa dianggap sebagai satu-satunya solusi untuk mengatasi kenakalan anak. Ia mengingatkan bahwa setiap anak memiliki latar belakang psikologis yang berbeda, sehingga pendekatannya pun tidak bisa disamaratakan.
“Untuk beberapa orang bisa, beberapa orang saja. Karena kalau kita ngomongin psikologis orang dan karakterisktik tiap orang itu beda. Mungkin karena baru sekali ini dan ceritanya barak militer, orang jadi takut, tapi pada dasarnya kuncinya ya harus didisiplinkan. Tapi caranya seperti apa? Ya tidak selalu dengan barak militer, misalnya sesuatu yang dia suka,” ujarnya.
Dalam pandangannya, untuk menyelesaikan permasalahan kenakalan anak, tidak hanya diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah saja. Melainkan, harus ada peran orang tua dalam pembentukan karakter anak sejak dini, karena pembinaan yang efektif dimulai dari lingkungan keluarga.
“Karakter itu hasil perkawinan antara pola asuh dengan lingkungan, siapa yang bikin pola asuh? Orang tua kan? Misal anaknya nakal, orang tuanya biasa manjain anaknya tidak? Orang tuanya terbiasa menegur tidak? Nah, itu alasannya kan bisa seperti itu, itu yang harus diberikan edukasi kepada orang tua,” pungkasnya.
Meski kebijakan ini tak luput dari perdebatan, ia tetap memberikan apresiasi terhadap langkah yang telah diambil oleh Dedi Mulyadi. Annisa menilai, perhatian semacam ini merupakan hal yang penting sebagai langkah awal untuk menangani moral generasi muda.
”Saya sangat menghargai upaya dari KDM (Kang Dedi Mulyadi). At least dia berupaya, at least he try. Saya tidak tahu ya, tapi belum ada gubernur semenjak KDM, karena saya orang Jawa Barat, belum ada gubernur yang concernnya terkait dengan kenakalan remaja. Setidaknya dia sudah berusaha, dan we have to appreciate him,” tutup Annisa.
