Dosen Unisa Yogyakarta: Tom Lembong Cukup Layak Dapat Abolisi
Dosen Administrasi Publik Universitas ‘Aisyiyah (Unisa) Yogyakarta, Gerry Katon Mahendra menilai abolisi yang diterima Mantan Menteri Perdagangan, Tom Lembong cukup layak. Hal tersebut tidak lepas dari fakta persidangan yang ada.
“Dengan mempertimbangkan fakta persidangan Tom Lembong dimana tidak ditemukan niat jahat mens rea untuk memperkaya diri dan pihak lain, tidak menikmati hasil korupsi, dan mengambil keputusan berdasarkan koordinasi serta mempertimbangkan kondisi saat itu, menurut saya cukup layak untuk mendapatkan abolisi. Tentu saja proses ini kembali menjadi hak penuh Presiden dengan memperhatikan situasi dan kondisi. Secara administratif, kondisi di atas cukup memenuhi unsur akuntabilitas dan keadilan,” ujar Gerry, Sabtu (2/8/2025).
Dalam konteks administrasi publik, isu abolisi terhadap Tom Lembong memberikan realitas bahwa masih banyak pekerjaan rumah dan tantangan untuk mengelola pemerintahan yang transparan, menjadikan hukum sebagai panglima pemerintahan, dan berkeadilan. “Lebih lanjut, semua pihak baiknya berbenah dan sudah saatnya perbedaan pandangan dikelola lebih demokratis,” ungkap Gerry.
Gerry menjelaskan abolisi merupakan hak yang dimiliki kepala negara untuk meniadakan tuntutan pidana. Hak abolisi diberikan dengan tetap memperhatikan pertimbangan DPR. Abolisi berbeda dengan grasi, meski merupakan hak prerogatif presiden namun sifatnya lebih kepada upaya pengurangan dan perubahan hukuman bagi terpidana. Sedangkan amnesti memiliki makna menghapus semua akibat hukum pidana terhadap orang yang menerimanya.
“Abolisi bukan sekedar diskresi administratif biasa, lebih kompleks dan ini merupakan hak konstitusional Presiden. Meskipun menjadi hak Presiden, dalam pelaksanaannya wajib memperhatikan aspirasi masyarakat, kebijaksanaan dan tetap dalam koridor hukum yang berlaku,” kata Gerry.
Pertimbangan pokok dari keputusan untuk memberi atau menolak abolisi adalah memastikan keadilan substantif, aspirasi kepentingan masyarakat dan integritas hukum yang dijalankan. Apabila aspek tersebut terpenuhi, maka sah saja jika abolisi diberikan.
Dalam prinsip akuntabilitas abolisi harus mampu menjamin hadirnya pertanggungjwaban secara moral dan hukum. Artinya pertimbangan abolisi tidak boleh mencederai keadilan hukum. Kedua, prinsip transparansi artinya proses pemberian abolisi harus terbuka dan dapat diakses publik serta menyingkirkan niatan-niatan manipulatif. Ketiga, mempertimbangkan prinsip keadilan, artinya abolisi diberikan jika dalam proses hukum terdapat dugaan atau kondisi ketidakadilan bagi seseorang.
“Abolisi tanpa mempertimbangan objektivitas tentu dapat merusak kepercayaan publik dan mengacaukan tatanan good governance suatu negara,” tegas Gerry.
Gerry mengatakan dampak dari abolisi tergantung dari bagaimana proses hukum yang dilalui seseorang sebelumnya. Dalam kasus Tom Lembong misalnya, sebagian besar publik merasa terdapat proses yang janggal dalam upaya hukum yang dilalui. “Sehingga ketika Presiden memberikan abolisi, sampai hari ini saya melihat respon publik masih cukup positif. Artinya masyarakat mengikuti dan memahami prosesnya, sehingga keputusan abolisi ini cukup dapat diterima,” ungkapnya.
Jika abolisi dilakukan dengan tidak mempertimbangkan aspek keadilan maka akan sangat mungkin untuk merusak tatanan birokrasi dan kepercayaan publik. Sebaliknya, proses abolisi yang clear akan membuat masyarakat menaruh kepercayaan tinggi terhadap pemerintah.
Menurut Gerry langkah normatif harus tetap dikedepankan dalam Keputusan abolisi. Pemenuhan unsur objektivitas, fakta hukum, aspirasi masyarakat tetap menjadi dasar utama. Terlepas dari ada atau tidaknya kepentingan politik, objektivitas dalam memandang kasus harus menjadi pertimbangan utama.
“Kasus ini mengajarkan kita semua bahwa kekuasaan harus dijalankan dengan etika dan prinsip keadilan demokratis, serta publik memiliki peran penting dalam mengawalnya,” ujar Gerry.
Gerry juga berpesan kepada masyarakat harus mampu menjadi garda depan pengawasan, termasuk dalam konteks kebijakan abolisi dengan mendorong transparansi penjelasan terbuka dari pemerintah, dan memastikan prosesnya dilandasi prinsip keadilan. “Masyarakat, media, dan akademisi harus mampu mengawal agar abolisi tidak digunakan secara politis dan tebang pilih. Pengawasan publik adalah kunci agar setiap keputusan negara tetap berada dalam koridor hukum, etika, dan tata kelola pemerintahan yang sehat,” tutup Gerry.
