5 Gender Equality

Bencana Alam di Sumatra, Bencana Bagi Perempuan, Anak dan Lansia

, ,
Bencana alam

Pulau Sumatra sedang dilanda bencana alam dan sedang tidak baik-baik saja. November 2025 menjadi bulan kelabu yang menyisakan duka mendalam. Rentetan bencana hidrometeorologi banjir bandang dan tanah longsor menghantam tiga provinsi sekaligus: Sumatra Utara, Sumatra Barat, dan Aceh. ratusan nyawa melayang, ribuan rumah luluh lantak, dan mimpi tangis terdengar di mana-mana.

Data yang dihimpun per 29 November 2025 melukiskan potret mengerikan. Sumatra Utara menjadi wilayah dengan dampak paling mematikan, di mana 166 jiwa dilaporkan meninggal di dunia. Ratusan lainnya masih dinyatakan hilang tertimbun material longsor, terutama di kawasan Tapanuli, Sibolga, dan Tapanuli Tengah.

Tak kalah memilukan, Sumatra Barat mencatat angka kematian mencapai 90 jiwa. Puluhan jembatan putus dan infrastruktur vital hancur lebur. Sementara di ujung Indonesia, Aceh melaporkan 47 orang meninggal dunia dan 51 orang hilang, dengan ribuan warga Aceh Utara terpaksa angkat kaki mengungsi karena rumah mereka tenggelam.

Jeritan Perempuan dan Anak di Tenda Pengungsian

Bencana ini bukan sekadar angka statistik. Di balik data korban jiwa, ada kelompok paling rentan yang menderita dalam diam: perempuan, anak-anak, dan lansia.

Di tenda-tenda pengungsian yang sesak, kisah pilu menyeruak. Ibu-ibu kebingungan mencari pembalut, bayi-bayi menangis kekurangan susu, dan remaja putri harus menahan malu karena minimnya fasilitas mandi yang aman. Bagi perempuan, bencana adalah beban ganda: memastikan keluarga selamat di tengah kebutuhan dasar.

Sementara bagi anak-anak, trauma ini akan membekas lama. Mereka kehilangan sekolah, buku, pakaian, dan ruang bermain yang aman. Suara tangis mereka adalah alarm keras bagi kita semua.

Bencana Alam Teguran Keras dari Alam

Apakah ini sekadar musibah alamiah? atau sebuah teguran keras? Bencana di Sumatra adalah cerminan kembalinya hubungan manusia dengan bumi. Pembukaan hutan yang ugal-ugalan, pembangunan tanpa perhitungan risiko, hingga dampak perubahan iklim global memperparah keadaan.

Saat hujan turun lebih lebat tanpa aba-aba, alam seolah berteriak: “Ada yang salah!”

Momentum ini harus menjadi titik balik. Pengelolaan lingkungan wajib kembali ke prinsip penghentian. Penanganan bencana pun tak boleh lagi asal-asalan; harus berperspektif gender dan ramah anak. Ruang laktasi dan dukungan psikososial bukan lagi pelengkap, melainkan kebutuhan dasar.

Sumatra mengajarkan kita satu hal: Alam tidak pernah membenci manusia, ia hanya memberi tanda ketika keseimbangannya diganggu. Dan ketika alam menegur, ia tak hanya menggoyang tanah, tapi juga menggoyang hati nurani kita untuk segera berbenah.

Oleh: Dr.Islamiyatur Rokhmah.,S.Ag.,M.S.I

Ketua Pusat Studi Perempuan Keluarga dan Bencana (PSPKB) UNISA Yogyakarta

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *