Ispa

Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) perlu menjadi perhatian hingga saat ini. Di Kabupaten Sleman, kasus ISPA juga tinggi, berdasar data Dinas Kesehatan (Dinkes) Sleman, hingga akhir Oktober 2025 mencapai 94.000 kasus. Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Aisyiyah (Unisa) Yogyakarta, Dika Rizkiardi memberikan saran pencegahan hingga penanganan kasus ISPA.

“ISPA atau Infeksi Saluran Pernapasan Akut adalah istilah medis untuk infeksi yang menyerang saluran pernapasan kita, mulai dari hidung, tenggorokan, hingga paru-paru. Disebut ‘akut’ karena biasanya berlangsung cepat, umumnya kurang dari 14 hari,“ ungkap Dika, Rabu (5/11/2025).

Penyebabnya bisa bermacam-macam, namun yang paling sering adalah virus. Contoh penyakit yang termasuk ISPA ini sangat umum kita kenal, seperti batuk pilek biasa (common cold), influenza, faringitis, hingga yang lebih serius seperti bronkitis dan pneumonia.

Penyebab utamanya sebagian besar adalah virus, seperti Rhinovirus, Influenza, dan RSV. “Faktor lingkungan dan cuaca saat ini sangat berpengaruh. Kita sedang berada di musim pancaroba, di mana suhu udara sering tidak menentu, kadang panas sekali lalu tiba-tiba hujan,” ungkap Dika.

Ditambah lagi, kualitas udara yang mungkin menurun akibat polusi atau debu di musim kemarau bisa menyebabkan iritasi pada saluran napas. Kondisi inilah yang menurunkan daya tahan lokal di saluran napas kita, sehingga virus atau bakteri jadi lebih mudah masuk dan menginfeksi.

Saat disinggung peningkatan tajam kasus di Sleman, kemungkinan besar bersifat multifaktorial. Pertama, seperti yang disebutkan, faktor cuaca dan kualitas udara yang sedang tidak bersahabat. Kedua, aktivitas masyarakat kini sudah kembali normal pasca-pandemi, interaksi sosial dan kepadatan di ruang publik meningkat, sehingga penularan penyakit yang ditularkan lewat droplet (percikan ludah) seperti ISPA ini juga otomatis meningkat. “Ketiga, bisa jadi ada sedikit penurunan kewaspadaan dalam menerapkan protokol kesehatan dasar, seperti memakai masker saat sedang sakit,” ungkapnya.

Gejala, Risiko, dan Penanganan ISPA

Dika menjelaskan gejala awal ISPA biasanya sangat bisa dikenali. Mulai dari hidung tersumbat atau meler, bersin-bersin, rasa tidak nyaman atau gatal di tenggorokan, kemudian disertai batuk (bisa kering atau berdahak). Seringkali ini juga disertai gejala sistemik seperti demam ringan, sakit kepala, dan badan terasa pegal-pegal atau tidak bugar.

Ada beberapa kelompok yang perlu mendapat perhatian khusus karena lebih rentan mengalami gejala yang lebih berat. Mereka adalah, Anak-anak, terutama balita, karena sistem kekebalan tubuh mereka belum terbentuk sempurna. Lansia (lanjut usia), karena fungsi sistem imunitas mereka sudah mulai menurun secara alami. Orang dengan komorbid atau penyakit penyerta, seperti penderita asma, PPOK, penyakit jantung, diabetes, atau orang dengan sistem imun yang lemah (misalnya pasien kemoterapi atau HIV). Perokok aktif juga memiliki risiko yang jauh lebih tinggi.

“Pada individu sehat, ISPA ringan akibat virus biasanya bisa sembuh sendiri (self-limiting) dengan istirahat dan asupan cairan yang cukup. Namun, jika diabaikan, kurang istirahat, atau terjadi pada kelompok rentan tadi, infeksinya bisa menyebar. Infeksi dari saluran napas atas bisa ‘turun’ ke bawah menjadi bronkitis atau pneumonia (radang paru). Bisa juga terjadi infeksi sekunder oleh bakteri. Dampak terburuknya, terutama pada pneumonia berat, adalah gagal napas, yang tentu saja mengancam jiwa,“ kata Dika.

Menurut Dika penting untuk diketahui agar tidak terlambat, tapi juga tidak panik berlebihan dalam penanganan ISPA. Penderita ISPA bisa melakukan perawatan mandiri di rumah jika gejalanya ringan (batuk pilek biasa, demam ringan). Namun, segera ke dokter atau fasilitas kesehatan jika mengalami sesak napas atau kesulitan bernapas. Ini tanda bahaya utama. Demam tinggi (di atas 38,5°C) yang tidak kunjung turun setelah 3 hari minum obat penurun panas. Batuk yang tidak membaik dalam 2 minggu, atau disertai nyeri dada hebat. Gejala terjadi pada kelompok rentan, seperti bayi di bawah 3 bulan, lansia, atau penderita komorbid. Jangan tunda, lebih baik segera periksakan.

Prosedur penanganan tergantung tingkat keparahan. Untuk ISPA ringan yang 90% disebabkan virus, pengobatannya bersifat simtomatik, artinya kita atasi gejalanya. Misalnya, obat penurun demam (parasetamol), pereda batuk, dan yang terpenting adalah edukasi untuk istirahat dan minum banyak air. Penting diingat, ISPA virus tidak butuh antibiotik. Penggunaan antibiotik yang tidak tepat justru berbahaya. Untuk kasus sedang hingga berat, seperti pneumonia, penanganan medis mungkin memerlukan pemeriksaan lebih lanjut seperti rontgen dada, dan pemberian obat-obatan yang lebih spesifik (termasuk antibiotik jika terbukti ada infeksi bakteri), terapi oksigen, atau bahkan rawat inap untuk pemantauan.

“Peran kami, baik sebagai tenaga medis maupun institusi pendidikan, ada dua sisi. Pertama, di sisi kuratif (pengobatan), kami di fasilitas kesehatan tentu siap memberikan pelayanan dan pengobatan terbaik bagi masyarakat yang membutuhkan. Kedua, dan ini yang tidak kalah penting, adalah sisi promotif (promosi kesehatan) dan preventif (pencegahan). Fakultas Kedokteran Unisa Yogyakarta memiliki tanggung jawab moral untuk memberikan edukasi kesehatan yang benar dan mudah dipahami kepada masyarakat, seperti melalui wawancara ini, agar masyarakat bisa berdaya dan melakukan pencegahan secara mandiri,” kata Dika.

Dika juga mengatakan sebagai bagian dari Tri Dharma Perguruan Tinggi, Fakultas Kedokteran Unisa Yogyakarta secara rutin melaksanakan berbagai program pengabdian masyarakat. Bisa dalam bentuk penyuluhan kesehatan langsung ke sekolah, posyandu, atau komunitas, bakti sosial pemeriksaan kesehatan, atau penelitian yang berfokus pada masalah kesehatan riil di masyarakat, termasuk terkait penyakit pernapasan dan implementasi Pola Hidup Bersih dan Sehat (PHBS).

Pencegahan dan Edukasi Jadi Bagian Penting

Dika mengungkapkan pencegahan adalah kunci utamanya. Pertama, jaga daya tahan tubuh. Ini fundamental. Kedua, kurangi paparan. Jika kita tahu kualitas udara sedang buruk, sebaiknya kurangi aktivitas fisik berat di luar ruangan. Jika terpaksa harus keluar rumah, sangat disarankan menggunakan masker yang layak untuk menyaring polutan. Pastikan juga ventilasi udara di dalam rumah atau ruang kerja tetap baik agar sirkulasi udara lancar.

Peran PHBS sangat sentral dan fundamental. Virus dan bakteri penyebab ISPA ini mudah sekali menular lewat tangan. “Kita memegang gagang pintu, meja, lalu tidak sengaja menyentuh hidung atau mulut. Jadi, hal sederhana seperti mencuci tangan pakai sabun dan air mengalir secara rutin terutama sebelum makan, setelah dari toilet, atau setelah memegang fasilitas umum adalah cara paling efektif memutus rantai penularan. Menjaga kebersihan lingkungan rumah juga penting untuk mengurangi debu dan kuman,“ ungkap Dika.

Dika menyebut penggunaan masker hingga etika batuk perlu jadi perhatian dan masih relevan pasca pandemi. Menurutnya kebiasaan saat pandemi Covid-19 tersebut harus dijaga. Pandemi Covid-19 telah mengajarkan betapa pentingnya masker dan etika batuk. “Jika Anda merasa sakit (batuk/pilek), pakailah masker. Itu adalah bentuk tanggung jawab sosial kita untuk melindungi orang di sekitar. Jika Anda sehat tapi berada di keramaian atau area berpolusi, masker melindungi Anda. Etika batuk, yaitu menutup mulut dengan siku bagian dalam atau tisu saat batuk atau bersin, juga wajib diteruskan untuk mencegah penyebaran droplet,“ ujar Dika.

Dirinya juga menyarankan untuk menjaga daya tahan tubuh, kuncinya ada di gizi seimbang. Perbanyak konsumsi sayur dan buah segar yang kaya vitamin C, vitamin D, dan antioksidan. Pastikan asupan cairan, terutama air putih, cukup, minimal 8 gelas sehari, agar mukosa (lapisan lendir) saluran napas kita tetap lembap dan sehat. Dan yang sering dilupakan, jangan lupakan istirahat yang cukup. Tidur berkualitas 7-8 jam per malam adalah ‘charger’ terbaik untuk sistem imun.

“Pesan kami dari Fakultas Kedokteran Unisa Yogyakarta untuk seluruh masyarakat Sleman dan sekitarnya, jangan panik menghadapi peningkatan kasus ISPA ini, tapi tetaplah waspada. ISPA adalah penyakit yang sangat bisa kita cegah. Mulailah dari diri sendiri dan keluarga. Terapkan kembali PHBS, terutama cuci tangan pakai sabun. Jaga imunitas tubuh dengan makanan bergizi dan istirahat cukup. Dan jangan ragu untuk kembali menggunakan masker jika Anda merasa sakit, atau jika berada di keramaian dan area berpolusi,” ucap Dika.

Disabilitas

Universitas ‘Aisyiyah (UNISA) Yogyakarta Melalui Biro Kemahasiswaan dan Alumni (BKA), menggelar workshop intensif bertema “Layanan Disabilitas di Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta” di Ruang Rapat FIKes, Rabu (08/10/25).

Langkah ini menegaskan bahwa kampus ini tidak mau menjadi yang utama dalam urusan pendidikan inklusif. Sebanyak 45 peserta ‘digembleng’ untuk memahami konsep, dasar hukum pembentukan Unit Layanan Disabilitas (ULD), hingga langkah-langkah teknis implementasinya di perguruan tinggi.

Disabilitas

Kepala BKA UNISA Yogyakarta, Yekti Satriyandari, S.ST, M.Kes, memberikan pernyataan tegas. Menurutnya, keberadaan ULD di UNISA Yogyakarta nantinya bukan sekadar untuk memenuhi tuntutan regulasi semata.

“Ini adalah bentuk tanggung jawab moral universitas. Kami wajib menjamin hak belajar yang setara bagi semua mahasiswa, tanpa kecuali,” ujar Yekti.

Untuk mengungkap tuntas konsep ini, UNISA Yogyakarta menghadirkan pakar di bidangnya, Prof. Dr. Ishartiwi, M.Pd. sebagai narasumber utama. Ishartiwi membedah tiga topik krusial: konsep dasar pendidikan inklusif, strategi jitu pembelajaran adaptif, serta cara mengidentifikasi kebutuhan spesifik siswa penyandang disabilitas.

Sesi workshop tak hanya berjalan satu arah. Para peserta yang terdiri dari dosen dan tenaga kependidikan ini terlibat aktif dalam sesi diskusi dengan narasumber. Mereka tampak antusias mempersiapkan langkah konkret agar UNISA Yogyakarta benar-benar menjadi rumah yang ramah dan setara bagi seluruh sivitas akademika, membuktikan bahwa inklusivitas adalah sebuah keharusan, bukan pilihan.

Silent killer

Ancaman silent killer alias hipertensi kini tak hanya mengintai orang tua. Data Riskesdas 2018 mencatat, sekitar 8,3% remaja Indonesia usia 15-17 tahun sudah mengalaminya. Merespons kondisi darurat ini, tim pengabdian masyarakat dari Universitas ‘Aisyiyah (UNISA) Yogyakarta blusukan ke Asrama Putri Mahasiswa Pimpinan Wilayah Tabligh Muhammadiyah  (PUTM) Sleman, Yogyakarta, Jumat (24/10/25).

Tim kesehatan dari program studi Fisioterapi UNISA Yogyakarta ini menggelar pengabdian masyarakat yang fokus pada promosi dan skrining kesehatan. Tujuannya meningkatkan literasi kesehatan remaja putri agar terhindar dari hipertensi sejak dini.

Kegiatan ini menghadirkan pemateri Indriani, SKM., MSc, serta tim kesehatan yang dipimpin Veni Fatmawati, M.Fis, bersama lima mahasiswa Fisioterapi. Mereka langsung memberikan edukasi promotif dan preventif. Tak hanya teori yang diberikan, para remaja putri di asrama langsung dicek kesehatannya satu per satu, meliputi pengukuran tekanan darah, berat badan, dan indeks massa tubuh (IMT).

Ustadz Asep Rahmat Fahzi, S.Th.i, M.Pd., mewakili pimpinan PUTM, menyambut hangat aksi ini. Ia mengapresiasi kerja sama yang terjalin, khususnya dalam peningkatan literasi kesehatan para santriwati.

Bahaya Silent Killer pada Remaja Putri

Fokus pada remaja putri ini bukan tanpa alasan. Hipertensi esensial pada remaja sering tidak disadari karena gejalanya minimal, padahal bisa berlanjut hingga dewasa dan memiliki risiko kematian yang lebih tinggi.

“Kondisi ini disebut silent killer karena bisa berakhir pada komplikasi penyakit berat seperti penyakit jantung, stroke, hingga gagal ginjal di kemudian hari jika tidak dicegah,” ungkap Indriani dalam paparannya.

Ia menambahkan, “Khususnya untuk remaja putri, ini berisiko terjadinya hipertensi dan diabetes selama kehamilan yang sangat berbahaya bagi kesehatan ibu dan anak.”

Faktor risikonya beragam, mulai dari genetik, pola hidup tidak sehat, kurang gerak, konsumsi garam berlebih, obesitas, hingga stres.

“Penting untuk memeriksakan tekanan darah secara teratur, melakukan aktivitas fisik, pola makan sehat rendah garam, dan manajemen stres. Jika sudah terjadi, segeralah ke dokter,” tegas Indriani.

Skrining kesehatan ini diharapkan memberikan gambaran nyata status kesehatan peserta dan memotivasi mereka untuk menerapkan gaya hidup sehat.

Mahasiswa

Bukan sekadar teori, mahasiswa Universitas ‘Aisyiyah (UNISA) Yogyakarta turun gunung membuktikan dampak nyata ke masyarakat. Melalui Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa (BEM KM) UNISA Yogyakarta, mereka datang ke Kalurahan Logandeng, Kabupaten Gunungkidul, dengan gagasan SILEMPENG, Kamis (09/10/2025).

Ini adalah langkah awal implementasi program BEM Berdampak 2025, yang dirancang sebagai wujud pengabdian lintas disiplin berbasis riset, teknologi tepat guna, dan pemberdayaan berkelanjutan.

Program ini adalah hasil kolaborasi mahasiswa dari delapan program studi berbeda. Mulai dari Bioteknologi, Gizi, Kebidanan, Fisioterapi, Psikologi, Manajemen, Arsitektur, hingga Administrasi Publik, semua bersatu menerapkan ilmunya untuk meningkatkan kapasitas ekonomi, sosial, dan kesehatan warga Logandeng.

Lalu, apa yang mereka bawa? BEM KM UNISA Yogyakarta memamerkan inovasi unggulan yang siap diterapkan. Salah satu yang paling mencuri perhatian adalah RevoPond. Ini adalah sistem akuaponik canggih hemat air yang mengintegrasikan budidaya ikan lele dan tanaman air kaya protein.

Selain itu, mereka juga membawa solusi pangan lokal bergizi tinggi untuk mencegah stunting: pengembangan bubur bayi berbasis tepung daun kelor dan ikan lele. Tak berhenti di situ, masyarakat juga diberi pelatihan Cara Budidaya Ikan yang Baik (CBIB) hingga pelatihan pembuatan pakan mandiri berbasis maggot.

Presiden BEM UNISA Yogyakarta, Lukmannul Hakim, menjelaskan SILEMPENG adalah filosofi gerakan mahasiswa UNISA untuk membangun harmoni antara lembaga, masyarakat, dan pemerintah desa.

“Saya berharap melalui agenda BEM Berdampak, bisa dirasakan manfaatnya secara langsung oleh masyarakat terkhusus di Logandeng,” ujar Lukman optimistis.