Solusi atasi sampah

Ribuan mahasiswa baru Universitas ‘Aisyiyah (Unisa) Yogyakarta mengurai persoalan sampah, mulai dari sekitaran kampus. Mahasiswa baru (Maba) Unisa Yogyakarta mengenalkan Losida atau lodong sisa dapur, sebagai solusi pengolahan sampah organik di lingkungan Nogotirto, Gamping, Sleman, Senin (15/9/2025).

Aksi sosial ini berangkat dari keprihatinan terkait persoalan sampah. Unisa Yogyakarta sebagai kampus berwawasan kesehatan berkomitmen untuk berkontribusi dalam menyelesaikan persoalan sampah ini.

“Dulu sebenarnya juga sudah pernah menjalankan program pengolahan sampah plastik dan hari ini kita mulai juga untuk pengolahan sampah organik. Jadi Losida ini adalah inovasi sederhana yang berfungsi sebagai media penguraian sampah organik menjadi pupuk,” ungkap Rektor Unisa Yogyakarta, Warsiti, seusai membuka agenda Sapa Warga.

Selain memberi manfaat untuk kebersihan lingkungan, Warsiti mengharapkan Losida bisa memiliki nilai ekonomi. “Kalau bisa terus dilakukan, berkelanjutan, saya yakin bisa memberi dampak,” ucap Warsiti.

Warsiti berharap melalui agenda Sapa Warga ini, mahasiswa baru yang datang dari berbagai daerah bisa hidup berdampingan bersama warga. Mahasiswa juga bisa diharap menjadi contoh yang baik. “Mahasiswa baru kami tentu akan tinggal bersama mereka (warga), harapannya bisa menjadi pelopor perubahan perilaku dalam merawat lingkungan,” ujar Warsiti.

Kepala Dusun Cambahan, Solihin Nurcahyo mengaku persoalan sampah masih menjadi pekerjaan rumah besar bagi masyarakat. Pihaknya pun menyambut baik dengan adanya Losida ini.

“Walaupun sudah ada petugas yang mengambil (sampah), tapi program Losida ini sekaligus memberikan edukasi. Artinya masyarakat bisa membuat sendiri solusi untuk mengatasi sampah, terutama sisa dapur,” ungkap Solihin.

Solihin mengatakan inisiasi dari Unisa Yogyakarta akan dikembangkan oleh masyarakat. Tahap awal ini dalam tiga rumah setidaknya memiliki satu Losida. “Jadi percontohan, ini penting untuk edukasi, agar masyarakat bisa mengatasi sampah,” ucap Solihin.

Sementara itu dua mahasiswa baru Unisa Yogyakarta, Muhammad Ilham dan Nayla Nabila mengaku kegiatan pengelolaan sampah ini menjadi yang pertama bagi mereka. Mereka pun senang bisa membantu masyarakat sekitar.

“Kami sendiri jadi tahu bahwa sampah organik ternyata bisa diolah menjadi pupuk yang bermanfaat. Kami senang bisa membantu masyarakat sekitar kampus untuk menanam dan memanfaatkan Losida,” ungkap mereka.

Inclusion

Hingar bingar semangat masyarakat Sanden Bantul dalam menjaga kesehatan, menyisakan cerita tentang perjuangan menghadirkan layanan rehabilitasi yang lebih dekat, murah, dan mudah dijangkau. Harapan itu kini mulai nyata lewat Project Inclusion, sebuah kolaborasi antara Universitas ‘Aisyiyah (UNISA) Yogyakarta bersama Puskesmas Sanden.

Selama ini, banyak warga pedesaan yang kesulitan mendapat layanan fisioterapi. Tenaga fisioterapis terbatas, sementara biaya dan jarak ke rumah sakit rujukan terdekat di kota kabupaten tidaklah ringan. “Bagi sebagian warga, pergi ke Rumah Sakit hanya untuk terapi adalah tantangan besar, baik dari segi biaya maupun tenaga,” ungkap salah satu kader kesehatan di Sanden.

Melihat kenyataan itu, para peneliti UNISA Yogyakarta bersama mitra internasional Physitrack UK dan Physiotools Finland mengembangkan Inclusion App, sebuah aplikasi digital yang memungkinkan kader kesehatan desa mendampingi warga dalam latihan rehabilitasi dasar. Tidak hanya mempermudah akses, aplikasi ini juga memberdayakan kader-kader perempuan desa untuk menjadi ujung tombak layanan kesehatan pada komunitas.

Puskesmas Sanden menjadi pilot project program ini. Mahasiswa UNISA Yogyakarta diterjunkan langsung ke dusun-dusun, mendampingi kader dan warga yang membutuhkan rehabilitasi. Bahkan, Puskesmas Sanden kini menjadi tempat belajar bagi mahasiswa internasional yang ingin memahami praktik rehabilitasi berbasis komunitas di Indonesia.

Dampaknya pun mulai terasa. Warga tak lagi harus jauh-jauh ke rumah sakit kota untuk terapi, biaya bisa dihemat, dan kader desa memperoleh keterampilan baru yang meningkatkan peran mereka di masyarakat. “Saya senang bisa membantu tetangga saya berlatih, sekaligus belajar hal baru,” ujar salah satu kader dengan mata berbinar.

Lebih dari sekadar kesehatan, program ini juga memberi nilai tambah bagi masyarakat Sanden Bantul yang hidup berdampingan dengan pariwisata pantai. Dengan tubuh yang sehat, warga bisa tetap produktif mendukung sektor wisata sekaligus menjaga keberlanjutan lingkungan pesisir.

Project Inclusion pun diakui mendukung Sustainable Development Goals (SDGs), mulai dari peningkatan kesehatan (SDG 3), pemberdayaan perempuan (SDG 5), pengurangan kesenjangan (SDG 10), hingga penguatan kemitraan global (SDG 17).

Tak berhenti di Sanden, model kolaborasi ini telah dimulai di 2 puskesmas lain yaitu puskesmas Srandakan dan Puskesmas Bambanglipuro dan akan direplikasi ke wilayah lain di seluruh Indonesia. Harapannya, lebih banyak warga desa yang bisa merasakan layanan rehabilitasi tanpa hambatan jarak dan biaya.

“Ini bukti bahwa riset bukan hanya untuk jurnal, tapi benar-benar hadir untuk menjawab kebutuhan masyarakat,” tutur Hilmi Zadah Faidullah salah satu dosen penelitia dari Prodi Fisioterapi UNISA Yogyakarta.

Dengan sentuhan teknologi dan semangat gotong royong, Bantul menunjukkan bahwa inovasi bisa tumbuh dari desa, menyentuh hati, dan membawa dampak perubahan nyata bagi seluruh masyarakat.

kolaborasi

Senyum bahagia muncul dari seorang ibu di Sanden Kabupaten Bantul. Ia tak lagi harus menempuh perjalanan panjang ke kota hanya untuk menjalani latihan dan rehabilitasi fisik. Kini, cukup dengan pendampingan kader kesehatan dan bantuan sebuah aplikasi di gawai sederhana, ia bisa berlatih di rumah. Cerita ini lahir dari Project Inclusion, kolaborasi Universitas ‘Aisyiyah (UNISA) Yogyakarta dan JAMK University Finlandia

Kerjasama ini sejalan dengan agenda global WHO Rehabilitation 2030, yang menegaskan bahwa rehabilitasi adalah hak semua orang. Melalui Inclusion App, teknologi dan kearifan lokal berpadu: kader kesehatan desa menjadi ujung tombak, mahasiswa terlibat langsung, dan dosen serta peneliti berkolaborasi lintas negara.

“Selama ini, keterbatasan tenaga fisioterapi membuat warga desa sering tertinggal dalam akses layanan. Inclusion App menjembatani itu semua,” ujar seorang kader yang baru saja dilatih menggunakan aplikasi tersebut.

Dampaknya melampaui kesehatan. Dengan aplikasi ini, masyarakat menghemat biaya dan waktu, emisi transportasi berkurang, dan perempuan desa mendapat ruang lebih besar untuk berdaya sebagai agen kesehatan. Penyandang disabilitas pun kini memiliki akses lebih adil terhadap layanan yang selama ini sulit dijangkau.

Tak hanya itu, Project Inclusion juga mengangkat nama Indonesia di panggung internasional. UNISA Yogyakarta bersama JAMK menyelenggarakan Digital Rehabilitation Summit lintas negara, mempublikasikan riset bersama, hingga membuka peluang ekspor teknologi kesehatan berbasis aplikasi. “Ini bukan sekadar riset, tapi diplomasi akademik yang menunjukkan bahwa Indonesia bisa memberi solusi global,” tutur salah satu dosen UNISA Yogyakarta penuh semangat.

Dengan langkah ini, UNISA Yogyakarta menegaskan diri bukan hanya kampus lokal, tetapi pionir rehabilitasi digital yang membawa manfaat nyata bagi masyarakat desa sekaligus memperkuat reputasi bangsa di dunia.

Project Inclusion adalah bukti bahwa ketika pengetahuan, teknologi, dan kepedulian manusia berpadu, harapan baru bisa tumbuh bahkan dari desa kecil, untuk dunia.

Kkn internasional

Universitas ‘Aisyiyah (Unisa) Yogyakarta bersama tiga perguruan tinggi lainnya melaksanakan kegiatan pengabdian masyarakat kolaboratif di Phatthana Kansueksa Munnithi School, Satun, Thailand,Agustus 2025 lalu.  Kegiatan ini menyasar 45 siswi sekolah setara SMP dan SMA, dengan fokus utama pada skrining kesehatan serta edukasi preventif.

Tema pengabdian masyarakat kali ini mencakup pemeriksaan tekanan darah dan skrining anemia. Selain pemeriksaan, para peserta juga mendapatkan edukasi pencegahan anemia serta pendidikan anti-bullying sebagai upaya membangun kesadaran kesehatan fisik dan mental sejak dini.

Kepala Biro Admisi Unisa Yogyakarta, Intan Mutiara Putri menyampaikan bahwa kegiatan ini tidak hanya menjadi sarana kontribusi nyata perguruan tinggi dalam ranah internasional, tetapi juga momentum untuk mengenalkan Unisa Yogyakarta lebih luas. “Kami juga menawarkan program beasiswa bagi siswa-siswi di Thailand yang ingin melanjutkan studi di Unisa Yogyakarta,” ujar Intan, Sabtu (13/9/2025).

Kegiatan pengabdian ini sekaligus menjadi penutup Kuliah Kerja Nyata (KKN) Internasional yang berlangsung sejak 4 – 30 Agustus 2025 di wilayah Thailand Selatan. Program ini diikuti oleh mahasiswa dari empat perguruan tinggi, yaitu Unisa Yogyakarta, Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya, dan Universitas Wijaya Kusuma Purwokerto. Para mahasiswa terbagi menjadi 8 kelompok yang ditempatkan di 8 sekolah berbeda.

Unisa Yogyakarta sendiri mengirimkan tiga mahasiswi dari Program Studi S1 Kebidanan, S1 Keperawatan, dan S1 Gizi untuk mengikuti KKN kolaborasi internasional tersebut. Koordinator Pengabdian Masyarakat dan KKN LPPM Unisa Yogyakarta, Fayakun Nur Rohmah menegaskan bahwa program ini menjadi wujud nyata kolaborasi internasional sekaligus ruang belajar mahasiswa dalam mengimplementasikan ilmu di masyarakat lintas negara.

“Melalui kegiatan ini, Unisa Yogyakarta tidak hanya hadir dalam pemberdayaan masyarakat global, tetapi juga membuka jalan bagi kerja sama pendidikan yang lebih luas, terutama dalam mempererat hubungan antara Indonesia dan Thailand melalui dunia akademik,” ucap Fayakun.

Mahasiswa baru

Haru dan bangga menyelimuti orang tua mahasiswa baru Universitas ‘Aisyiyah (Unisa) Yogyakarta. Mereka mengaku tidak hanya mempercayakan pendidikan akademik, tetapi juga menitipkan putra-putri mereka untuk diasuh dengan penuh perhatian. Dari berbagai daerah, para orang tua memberikan kesan positif atas penerimaan mahasiswa baru tahun ini, sementara pihak kampus menegaskan komitmennya mencetak generasi unggul.

Salah satu orang tua asal Gorontalo, Yusuf Khalib menceritakan perjuangan anaknya ketika masuk ke Unisa Yogyakarta. Ia menyebut anaknya telah dua kali mendaftar ke Unisa Yogyakarta, dan pada tahun ini berhasil diterima sesuai dengan prodi yang diinginkan. Ia pun mengapresiasi penerimaan Unisa Yogyakarta sejak awal sangat baik.

“Anak saya keterima di Anestesi. Kami berharap bapak ibu dosen bisa mendidik anak kami menjadi seorang anestesiolog profesional. Kami tahu di Unisa Yogyakarta anak kami tidak hanya dididik tapi diasuh,” ujar Yusuf, saat Temu Wali Maba Unisa Yogyakarta, di Convention Hall Unisa Yogyakarta, Sabtu (13/9/2025).

Orang tua dari salah satu mahasiswa baru Psikologi, Nirmala Deti juga memberi kesan baik untuk Unisa Yogyakarta sejak pertama datang. “Bagi kami orang Sumatra sangat luar biasa. Sampai hari ini Alhamdulillah kami sangat yakin menitipkan anak kami di sini. Anak kami tidak hanya mendapat ilmu tapi diasuh,” ucap Nirmala.

Nirmala menyebut bisa lebih tenang menitipkan anaknya di Unisa Yogyakarta. Pasalnya, para dosen juga menganggap para mahasiswa sebagai anaknya sendiri. “Dulu agak ragu, putri dan anak terakhir, tapi karena dosen menjadikan anak kami jadi anak mereka, kami bisa berlapang dada, berlapang hati,” ujarnya.

Rektor Unisa Yogyakarta, Warsiti mengatakan Unisa Yogyakarta menerima semua golongan masyarakat, tidak hanya masyarakat kelas atas. Hal tersebut diwujudkan dengan hadirnya beasiswa untuk mahasiswa berprestasi, namun kurang beruntung secara ekonomi. “Unisa Yogyakarta hadir tidak hanya untuk golongan tertentu, tapi untuk semua golongan,” ujar Warsiti.

Meski terbuka untuk semua golongan, namun Unisa Yogyakarta tetap ketat dalam melakukan seleksi mahasiswa. Pada tahun ini dari total pendaftar 12.331 calon mahasiswa, diterima 2.508 mahasiswa baru. Para mahasiswa yang diterima di Unisa Yogyakarta pun berasal dari berbagai daerah di Indonesia, bahkan ada yang dari luar negeri.

“Bukan perjuangan mudah, putra-putri bapak ibu telah menjadi pemenang, telah berjuang dengan gigih untuk menang di Unisa Yogyakarta. Ada mahasiswa dari luar negeri, Thailand, Timor Leste, Ghana, Sudan, Nigeria,” ungkap Warsiti.

Kepercayaan para orang tua maupun mahasiswa baru juga tidak lepas dari torehan Unisa Yogyakarta selama ini. Terlebih saat ini Unisa Yogyakarta telah terakreditasi Unggul, yang membuktikan kualitas Unisa Yogyakarta. “Alhamdulillah tidak sampai 8 tahun, Unisa Yogyakarta sudah terakreditasi institusi Unggul,” ucap Warsiti.

Anggota Badan Pembina Harian (BPH) Unisa Yogyakarta, Supriyatiningsih menyebut Unisa Yogyakarta selama ini telah membuka kerja sama tidak hanya di dalam negeri, tapi luar negeri. Termasuk di negara maju seperti Jerman. Ia mengharapkan lulusan dari Unisa Yogyakarta nantinya juga bisa berkiprah membawa nama Unisa Yogyakarta dan Indonesia ke luar negeri.

Supriyatiningsih mengatakan bahwa pihak kampus akan mendukung para mahasiswa untuk bisa menggapai mimpinya. “Kami juga mohon dukungan (orang tua). Kalau sudah masuk ‘pacu jalur’, karena kita membuka pintu awal. InsyaAllah BPH berembuk dengan rektorat, bagaimana kalau pembiayaan bisa gratis,” ungkapnya.

Pada kesempatan tersebut juga dihadirkan sesi dialog  dengan pembicara Dosen Psikologi Unisa Yogyakarta, Ratna Yunita Setiyani Subardjo. Ratna mengangkat tema Peran Orang Tua dalam Membangun Generasi Unggul.